‘Ulama

Tokoh-tokoh Ahlussunnah

KISAH EMPAT ULAMA BERNAMA MUHAMMAD – BUAH ISTIKHOROH

KISAH EMPAT ULAMA BERNAMA MUHAMMAD

.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah menceritakan bahwasanya pernah ada suatu perjalanan (rihlah) yang mengumpulkan empat orang ulama yang sama-sama bernama Muhammad :
▬ Muhammad bin Jarir ath-Thobari,
▬ Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah,
▬ Muhammad bin Nashr al-Marwazi
▬ dan Muhammad bin Harun ar-Ruyani
▬▬ rahimahumullah jami’an.

Bekal perjalanan mereka sama-sama habis sehingga mereka sama-sama merasa lapar. Lalu mereka berkumpul di dalam sebuah rumah dan mengundi, barang siapa yang keluar namanya, maka ia mendapat tugas untuk meminta sedekah kepada masyarakat.

Ternyata undian jatuh kepada Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Ia berkata: “Tunggu sejenak, biarkan aku sholat istikhoroh terlebih dahulu.”

Setelah itu ia bertolak menuju ke pintu untuk keluar. Namun tiba-tiba ia melihat beberapa buah lilin ada di depan pintu yang dibawa oleh beberapa tentara utusan. Mereka mengetuk pintu. Muhammad bin Ishaq lalu membukakan pintu untuk mereka.

Mereka (para tentara utusan) berkata:
“Siapa dari kalian yang bernama Muhammad bin Nashr?.” Lalu mereka mengeluarkan pundi uang sejumlah 50 dinar dan memberikan kepadanya.

Mereka bertanya lagi:
“Mana yang namanya Muhammad bin Jarir?.” Lalu mereka memberinya 50 dinar. Demikian seterusnya hingga keempat Muhammad mendapatkan 50 dinar.

Kemudian utusan itu menjelaskan bahwa Amir (Pemimpin) mereka telah bermimpi dan melihat keempat Muhammad kelaparan, maka itu ia mengirimkan pundi-pundi uang itu kepada mereka. Dan dia bersumpah, apabila uang-uang tersebut habis, hendaklah mereka mengabarkan kepada Amir tersebut.

[Siyar A’lam an-Nubala`, adz-Dzahabi, 14/270 & 508. Dinukil dari kitab Jami’ Mukhtashor al-‘Ulum, DR. Fakhruddin bin az-Zubair al-Muhsi, hlm. 24]
——————————————————————————————

.
BUAH ISTIKHOROH
▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Ternyata Allah ta’ala tidak ridha melihat keempat hamba-Nya yang pada akhirnya menjadi ulama besar, untuk meminta sedekah kepada masyarakat. Allah telah mengijabahi doa Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah ketika beristihkoroh kepada-Nya.

Bukankah di antara isi doa istikhoroh berbunyi,
“Ya Allah, apabila Engkau tahu bahwa urusanku ini baik bagiku, bagi agamaku, hidupku, dan kesudahan urusanku –atau berkata: baik urusanku sekarang atau akan datang-, maka takdirkanlah terjadi padaku, mudahkanlah ia bagiku, kemudian berkahilah aku padanya. Namun apabila Engkau tahu bahwa urusan ini buruk bagiku, bagi agamaku, hidupku dan kesudahan urusanku –atau berkata: baik urusanku sekarang atau yang akan datang-, maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah bagiku kebaikan dimanapun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dll.)

Allah ta’ala mendengar doa mereka dan menunjukkan kepada mereka bahwa meminta-minta adalah perbuatan buruk yang tidak pantas mereka lakukan, maka itu Allah mengirimkan rezeki kepada mereka melalui seorang Amir yang berhati mulia.

Semoga Allah menjaga para ulama dari keburukan dan memberikan keberkahan kepada para pemimpin yang berhati dermawan. Aamiin.

sumber: sulhan.net

PemudaMuslim.Com
https://www.facebook.com/PemudaMuslimCom/posts/819274048098321

Biografi Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr

Bismillah, washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasulillah.

Sejak dulu hingga sekarang Allah selalu mengutus dan membangkitkan manusia-manusia pilihan yang akan menyebarkan agama-Nya. Mulai dari Nabi Adam dan seluruh nabi, sampai para ulama rabbani. Untuk itu, pada kesempatan kali ini, kami menyajikan biografi salah satu dari mereka, para ulama rabbani yang hidup pada zaman ini. Beliau adalah Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Badr.

Nama dan nasab beliau

Beliau bernama ‘Abdul Muhsin bin Hamd bin ‘Abdil Muhsin bin ‘Abdillah bin Hamd bin ‘Utsman keluarga Badr, sedangkan keluarga Badr berasal dari keluarga Jalaas dari suku ‘Anazah, salah satu suku ‘Adnan.

Sementara ibu beliau adalah keponakan paman bapak beliau, yaitu Sulaiman bin ‘Abdillah bin Hamd bin ‘Utsman keluarga Badr.

Kakek kedua beliau yang bernama ‘Abdullah diberi julukan ‘Abbaad. Dan julukan tersebut juga disandarkan kepada sebagian anak keturunan beliau.

Kelahiran beliau

Beliau dilahirkan usai sholat ‘Isya malam Ahad, yang bertepatan dengan tanggal 3 Ramadhan 1353 H di sebuah kota bernama Zulfa, yang terletak di sebelah utara kota Riyadh.

Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu dan mengajar

Beliau mengawali riwayat pendidikannya dengan belajar baca tulis di sebuah ‘kuttab’ (semacam TPA kalau di Indonesia) bersama para guru yang mulia.

Selesai mengenyam pendidikan di kuttab, beliau melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ibtidaiyah di Zulfa pada tahun 1368 H dan lulus pada tahun 1371 H. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke Ma’had Ar-Riyaadh Al-‘Ilmi, kemudian ke Kuliah Syari’ah di Riyadh.

Pada tahun terakhir kuliahnya, beliau ditunjuk sebagai pengajar di Ma’had Buraidah Al-‘Ilmi, yaitu pada tanggal 13 Jumadal Ula 1379 H, dan kembali ke Riyadh saat ujian akhir di Kuliah Syari’ah Riyadh.

Pada tahun 1380 H, beliau ditunjuk kembali sebagai pengajar. Namun, kali ini di Ma’had Ar-Riyaadh Al-‘Ilmi.

Ketika Universitas Islam Madinah didirikan, beliau dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh sebagai pengajar di sana. Dan fakultas pertama yang dibuka di Universitas tersebut adalah Fakultas Syari’ah yang mengawali proses perkuliahannya pada hari Ahad, 2 Jumaada Tsani 1381 H. Sedangkan syaikh adalah orang yang pertama menyampaikan pelajaran pada hari itu, dan masih terus berlanjut sampai saat ini.

Pada tanggal 30 Rajab 1381 H, beliau ditunjuk sebagai Wakil Rektor Universitas Islam Madinah, atas pilihan Raja Faishol untuk menduduki posisi ini. Dalam pemilihan tersebut, beliau termasuk salah satu dari tiga orang yang dicalonkan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku Rektor Universitas saat itu.

Selama dua tahun, beliau menjabat sebagai Wakil Rektor di Universitas Islam Madinah. Selanjutnya, setelah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz diangkat sebagai Ketua di Pusat Penelitian Ilmiah dan Pemberian Fatwa, beliau diangkat menjadi Rektor di Universitas. Beliau tetap menduduki posisi ini hingga 26 Syawwal 1399 H setelah sebelumnya beliau terus mendesak untuk mengundurkan diri.

Selama enam tahun ini, beliau tidak pernah kosong dari penyampaian dua pelajaran per pekan pada Fakultas Syari’ah tahun keempat.

Beliau mulai mengajar di Masjid Nabawi pada bulan Muharram 1406 H setelah sebelumnya beliau rutin menyampaikan pelajaran di sana pada musim haji sebagai pembekalan bagi jama’ah haji. Terhitung sampai musim panas tahun 1428 H, beliau telah sempurna menyampaikan syarah/penjelasan kitab Shahih BukhariShahih MuslimSunan Abi DaudSunan An-Nasaa’i, serta ¾ kitab Jami’ at-Tirmidzi. Adapun kajian beliau diadakan antara sholat Maghrib dan Isya pada 6 malam dalam seminggu, dengan istirahat selama musim liburan tiba.

Semangat beliau dalam menuntut ilmu

Beliau termasuk sosok yang dikaruniai semangat dalam menuntut ilmu oleh Allah sejak usia dini. Beliau selalu mencatat ilmu-ilmu yang beliau dapatkan dalam buku-buku catatan beliau selama menempuh seluruh jenjang pendidikan. Dan saat ini, beliau masih menyimpan catatan-catatan itu yang terhitung sejak tahun ketiga jenjang Madrasah Ibtidaiyah.

Beliau juga masih menyimpan manuskrip kitab Bulughul Maram karya al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang beliau dapatkan sebelum masuk ke Madrasah Ibtidaiyyah. Dan ini merupakan kitab pertama yang ada di perpustakaan pribadi beliau. Dalam kitab tersebut terdapat tulisan tangan beliau yang bertanggalkan 6 Muharram 1368 H.

Prestasi Beliau

  1. Meraih peringkat pertama pada ujian kelulusan tingkat Tsanawiyyah (di Indonesia setingkat SMA) di Ma’had Ar-Riyaadh Al-‘Ilmi.
  2. Menduduki peringkat pertama pada setiap ujian kenaikan kelas selama belajar di Kuliah Syari’ah Riyadh.
  3. Masuk nominasi 4 besar dari 80 alumnus pada ujian akhir di Kuliah Syari’ah Riyadh, dan menduduki peringkat pertamanya.
  4. Dengan pertolongan Allah, kemudian dengan kesungguhan dan bantuan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, beliau berhasil membuka program beasiswa untuk tingkat Magister dan Doktoral serta beberapa Fakultas baru di Universitas Islam Madinah saat beliau menjabat sebagai Rektor di Universitas tersebut. Di antaranya adalah Fakultas Al-Qur’anul Karim, Fakultas Al-Hadits Asy-Syarif, dan Fakultas Bahasa Arab.
  5. Selama itu juga, beliau berhasil mendirikan percetakan-percetakan kampus.

Guru-guru beliau

A.    Para guru beliau di Kuttab:

  1. Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad al-Mani’
  2. Syaikh Zaid bin Muhammad al-Manifi
  3. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Ghaits. Bersama beliau inilah Syaikh ‘Abdul Muhsin menyempurnakan bacaan Al-Qur’an-nya.
  4. Syaikh Falih ar-Ruumi.

B. Di antara guru beliau ketika di Madrasah Ibtidaiyyah adalah Syaikh Hamdan bin Ahmad Al-Batil. Kepada beliau, syaikh ‘Abdul Muhsin mempelajari kitab “Ar-Rahbiyyah” tentang faraaidh atau ilmu tentang warisan dan kitab “Al-Ajurumiyyah” di bidang nahwu.

C. Para guru beliau di Ma’had Ar-Riyadh dan Kuliah Syari’ah:

  1. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
  2. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-syinqithi
  3. Syaikh ‘Abdur Razzaq ‘Afifi
  4. Syaikh ‘Abdurrahman Al-Afriqiy
  5. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Khulaifi

Pujian ulama terhadap beliau

Syaikh ‘Abdurrahman Al-Afriqi berkata tentang beliau, “Beliau adalah seorang pengajar yang gemar memberi nasihat, ulama besar, pengayom, pembimbing, serta panutan dalam kebaikan. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau.”

Syaikh Hammaad Al-Anshari bercerita tentang beliau, “Saya pernah pergi ke kampus (Universitas Islam Madinah) pada waktu Ashar saat Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad menjabat sebagai rektornya. Saat itu, tidak ada seorang pun di kampus kecuali saya dan beliau. Lantas saya berkata kepada beliau, ‘Kenapa Anda tidak datang bersama orang yang bisa membantu Anda membuka kampus untuk Anda sebelum Anda datang?’ Kemudian beliau menjawab, ‘Saya tidak akan memperkerjakan seorang pun pada waktu seperti ini, karena ini waktu istirahat.’ Saat itu adalah waktu ashar.”

Beliau juga berkomentar tentang Syaikh ‘Abdul Muhsin, “Adapun Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad, sungguh kedua mataku ini tidak pernah melihat yang seperti beliau dalam ke-wara’-an (berhati-hati terhadap perkara-perkara yang haram).”

Murid-murid beliau

Karena luasnya keilmuan yang Allah berikan kepada beliau, sangat banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru yang duduk belajar kepada beliau. Dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama dan intelek muslim terkemuka yang tersebar di negeri-negeri Islam. Di antaranya adalah:

  1. Syaikh Ihsan Ilahi Dzhahir
  2. Dr. Ali Nashir Faqihi
  3. Syaikh Yusuf bin ‘Abdirrahman Al-Barqawi
  4. Dr. Shalih As-Suhaimi
  5. Dr. Washiyullah ‘Abbas
  6. Dr. ‘Abdurrahman Al-Fariwa’i
  7. Syaikh Al-Hafidzh Tsanaa-ullah Al-Madani
  8. Dr. Basam Al-Jawabirah
  9. Dr. Shalih Ar-Rifa’i
  10. Dr. ‘Abdurrahman Ar-Rusyaidan
  11. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili
  12. Anak beliau sendiri Dr. ‘Abdurrazzaaq,

Dan masih banyak lagi, yang merupakan para alumni Universitas Islam Madinah serta para penuntut ilmu di Masjid Nabawi.

Karya-karya beliau

Di tengah kesibukan yang sangat padat, beliau masih sempat membuahkan banyak karya yang sangat bermanfaat bagi umat. Di antara karya beliau adalah:

A.    Di bidang Ulumul Qur’an:

  1. Aayaat mutasyaabihaatul alfaadzh fil-qur’anil kariim, wa kaifa at-tamyiiz bainaha.
  2. Min kunuuzil qur’aanil kariim.

B.     Di bidang Hadis:

  1. ‘Isyruuna haditsan min shahihil bukhori, diroosatu asaaniidiha wa syarhu mutuuniha.
  2. Syarhu hadiitsi Jibril fii ta’liimid-diin.
  3. Kaifa nastafiidu minal kutub al-haditsiyyah as-sittah.

C.     Di bidang Akidah:

  1. ‘Aaqidatu ahlis-sunnah wal jama’ah fish-shohabatil kiraam, radhiallahu ‘anhum wa ardhoohum.
  2. At-tahdziir min ta’dzhimil aatsaar ghairil masyruu’ah.
  3. Al-hatstsu ‘ala ittibaa’i as-sunnah wat-tahdziir minal bida’i wa bayaanu khathariha.
  4. ‘Aqidatu ahlis-sunnati wal-aatsaar fil mahdi al-muntadzhar.

D.    Fikih:

  1. Ahammiyatul ‘inaayah bit-tafsiir wal-hadits wal-fiqh.
  2. Syarhu syuruuthish-sholaah wa arkaaniha wa waajibaatiha.
  3. Syarhu kitaab aadabil masy-yi ila ash-sholaah.

E.     Adab dan akhlak:

  1. Min akhlaaqir-rasuul al-kariim shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Badzlun-nush-hi wa at-tadzkiir li baqooyaa al-maftuuniina bit-takfiiri wat-tafjiir.
  3. Rifqon ahlas-sunnah bi ahlis-sunnah.
  4. Asy-syaikh ‘abdul ‘aziz ibnu baaz rahimahullah, namuudzajun min ar-raa’iil al-awwal.

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang belum disebutkan di sini.

Semoga dengan ulasan singkat ini, bisa menambah pengetahuan kita seputar biografi ulama rabbani masa kini. Dan mudah-mudahan dengan mengenal mereka kita bisa lebih mencintai dan menghargai ilmu yang merupakan warisan para nabi.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

 Referensi:

  1. Majmu’ kutub wa rosaa-il syaikh ‘abdil muhsin ibni hamd al-‘abbaad al-badr.
  2. s.sunnahway.net/abbad/
  3. ar.m.islamway.net/scholar/461

Penulis: Muhammad Nurul Fahmi

Artikel Muslim.Or.Id

Imam Ahmad bin Hanbal, Teladan dalam Semangat dan Kesabaran

Disusun oleh: Tim Buletin Al Ilmu

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.

Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.

Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.

Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu

Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).

Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.

Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:

1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.

2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.

3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.

4. Abdurrahman bin Mahdi.

5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.

Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.

Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”

Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”

Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.

Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.

Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.

Guru-guru beliau

Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.

Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.

Murid-murid beliau

Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.

Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.

Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).

Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.

Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah

Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”

Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.

Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.

Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.

Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”

Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”

Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”

Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”

Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).

Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.

Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”

Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.

Ujian yang menimpa beliau

Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.

Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.

Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.

Wafat beliau rahimahullah

Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.

Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.

Maraji’:

1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.

2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39

4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.

5. Siyar A’lamin Nubala

6. Al-Bidayah wan Nihayah

7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No : 29/VII/VIII/1431

Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=475

Imam Ahmad bin Hanbal, Teladan dalam Semangat dan Kesabaran

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Mu’awiyah Dan Pertikaiannya Dengan Ali Abul Abbas

PERSELISIHAN ANTARA ALI DAN MU’AWIYAH SERTA PENDIRIAN AHLU SUNNAH DALAM MENYIKAPINYA
Tidak syak lagi, bahwasanya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu & orang-orang nan menyertainya lebih patut dikatakan sebagai kelompok nan benar daripada nan lainnya.

Imam Muslim meriwayatkan dlm Shahih-nya (1065) dari hadits al Qasim bin al Fadhl al Haddani, dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

“Kelak akan muncul 1 kelompok nan menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum Muslimin. Kelompok itu akan diperangi oleh kelompok nan lebih mendekati kebenaran dari 2 kelompok (yang bertikai itu)”

Abu Zakaria an Nawawi berkata di dlm Syarah Shahih Muslim (VII/168): “Riwayat-riwayat ini secara tegas menjelaskan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu berada di pihak nan benar. Sementara kelompok lain, para pengikut Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu tergolong kelompok nan menyempal, karena takwil keliru. Hadits itu juga menjelaskan, kedua kelompok tersebut tergolong mukmin, tak keluar dari lingkaran keimanan karena perang tersebut, & tak pula disebut fasik. Itulah pendapat kami. “

Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dlm Majmu’ Fatawa (IV/467): “Hadits ini, secara tegas menunjukkan bahwa kedua kelompok nan berperang itu, yakni kelompok Ali & orang-orang nan menyertainya, serta Mu’awiyah & orang-orang nan menyertainya, berada di atas kebenaran. Dan sesungguhnya, Ali & sahabat-sahabatnya lebih mendekati kebenaran daripada Mu’awiyah & sahabat-sahabatnya”. Ibnul Arabi juga mengeluarkan pernyataan senada dlm kitab al Awashim halaman 307.

Abul Fida’ Ibnu Katsir dlm al Bidayah wan Nihayah (*1) (X/563) berkata: “Hadits ini termasuk mu’jizat kenabian, sebab benar-benar telah terjadi seperti nan dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok nan bertikai itu, yakni penduduk Syam & penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, nan mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali paling mendekati kebenaran; itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Ali berada di pihak nan benar, & Mu’awiyah memeranginya karena ijtihad nan keliru, & ia berhak mendapat 1 pahala atas kesalahan ijtihad itu, insya Allah. Sedangkan Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah imam nan sah, berada di pihak nan benar insya Allah, & berhak mendapat 2 pahala”.

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu Ali Radhiyallahu ‘anhu berada di pihak nan benar. Adapun Mu’awiyah nan memerangi Ali telah salah dlm ijtihadnya, & ia mendapat 1 pahala atas kesalahan ijtihadnya tersebut, insya Allah. Sebagaimana disebutkan dlm Shahih al Bukhari (*2), dari hadits Amru bin al Ash Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat 2 pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat 1 pahala”

Hadits di atas lebih dijelaskan lagi oleh hadits nan diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dlm Shahih-nya (3609) & Muslim (2214) dari jalur Ma’mar dari Hammam dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ وَتَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ وَدَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga muncul 2 kelompok nan saling berperang & akan terjadi pertumpahan darah nan hebat, sedangkan dakwah keduanya sama”.

Hadits ini menjelaskan hadits sebelumnya, Abul Fida’ Ibnu Katsir berkata di dlm al Bidayah wan Nihayah (IX/192): “Kedua kelompok itu adalah 2 kelompok nan terlibat dlm peperangan Jamal & Shifin. Karena kala itu, dakwah ke 2 kelompok tersebut sama. Yakni sama-sama menyeru kepada Islam. Mereka hanya berselisih pendapat tentang masalah kekuasaan, & dlm menetapkan mashlahat bagi umat & segenap rakyat. Tidak terlibat dlm peperangan itu adalah lebih utama, daripada melibatkan diri ke dalamnya. Itulah madzhab jumhur sahabat”.

PERDAMAIAN ANTARA MU’AWIYAH DAN AL HASAN BIN ALI
Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu secara resmi memegang tampuk kekhalifahan setelah al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma mengundurkan diri demi menghentikan pertumpahan darah di antara kaum Muslimin.

Imam al Bukhari meriwayatkan dlm kitab Shahih-nya, dari jalur Abdullah bin Muhammad dari Sufyan dari Abu Musa, ia berkata:

Saya mendengar al Hasan berkata: “Demi Allah, al Hasan bin Ali mendatangi Mu’awiyah dgn membawa pasukan besar laksana gunung”.

Amru bin al Ash berkata,”Menurutku pasukan ini tak akan kembali hingga menghancurkan lawannya”.

Mu’awiyah –beliau adalah sebaik-baik orang- berkata kepadanya: “Hai, Amru. Jika kedua pasukan ini saling bunuh, lantas siapakah nan akan mengatur urusan kaum Muslimin? Siapakah nan melindungi para wanita muslimah? Siapakah nan melindungi harta benda mereka?” maka Mu’awiyah mengutus 2 orang Quraisy dari Bani Abdi Syams kepada al Hasan, yakni Abdurrahman bin Samurah & Abdullah bi Amir bin Kuraiz.

Mu’awiyah berkata kepada mereka berdua: “Temuilah ia, tawarkanlah (perdamaian) kepadanya. Katakanlah kepadanya & mintalah agar ia menerimanya,” maka kedua utusan itupun menemui al Hasan & mengutarakan maksudnya, & memintanya agar menerima tawaran mereka. Lalu al Hasan bin Ali berkata kepada mereka berdua: “Kami dari kabilah Bani Abdul Muththalib telah memperoleh harta ini, & sesungguhnya umat ini telah tertumpah darahnya”.

Keduanya berkata,”Sesungguhnya Mu’awiyah menawarkan ini & ini kepadamu, ia meminta agar Anda menerimanya. “

Al Hasan berkata,”Siapakah nan akan mendukungku?”

“Kamilah nan mendukungmu,” jawab mereka berdua.

Setiap kali al Hasan menanyakan hal itu, keduanya menjawab: “Kamilah nan mendukungmu, berdamailah dengannya”

Al Hasan berkata: “Saya mendengar Abu Bakrah berkata,’Aku pernah melihat Rasulullah di atas mimbar, sementara al Hasan bin Ali di sisi beliau. Kadangkala Rasulullah menatap al Hasan, & kadangkala menatap para hadirin, lalu (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata:

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“(Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan 2 kelompok besar kaum Muslimin nan bertikai)”(*3).

Demikianlah Allah menghindarkan terjadinya peperangan di antara kaum Mukminin melalui as Sayyid al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Al Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu’awiyah & membaiatnya utk menegakkan kitabullah & Sunnah NabiNya. Maka Mu’awiyah pun memasuki Kufah, & kaum Muslimin membaiatnya. Dalam sejarah Islam, tahun itu disebut tahun Jama’ah; karena pada tahun itu kaum Muslimin bersatu. Semua orang nan sebelumnya menghindarkan diri dari fitnah, mereka turut membaiat Mu’awiyah, seperti Sa’id bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah & lainnya.

Abul Fadhl Ibnu Hajar dlm Fathul Bari (6613) menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

1). Menerangkan salah 1 mu’jizat kenabian.
2). Menerangkan keutamaan al Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhu nan telah mengundurkan diri dari tampuk kekhalifahan bukan karena sedikit pendukung atau kalah, & bukan pula karena kesalahan, namun semata-mata mengharap balasan di sisi Allah, ketika beliau melihat hal itu dapat menghentikan pertumpahan darah di antara kaum Muslimin. Beliau lebih mengedepankan kemashlahatan agama & kemashlahatan umat.
3). Bantahan terhadap kelompok Khawarij nan mengkafirkan Ali & orang-orang nan menyertai beliau serta mengkafirkan Mua’wiyah & orang-orang nan bersama beliau. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa kedua kelompok itu masih tergolong muslim.
4). Keutamaan usaha perdamaian di antara manusia, terutama demi memelihara darah kaum Muslimin.
5). Bukti kasih-sayang Mu’awiyah kepada rakyatnya & kasih-sayangnya terhadap kaum Muslimin, ketajaman pandangannya dlm mengatur negara & kearifan beliau dlm melihat akibat nan akan terjadi.

Perkataan Ibnu Hajar “Bukti kasih sayang Mu’awiyah kepada rakyatnya . . . . . . ” didasarkan atas pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pengunduran diri al Hasan dari tampuk kekhalifahan & menyerahkannya kepada Mu’awiyah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.

MU’AWIYAH TIDAKLAH MEMBENCI ALI, AL-HASAN DAN AHLI BAIT
Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu juga memuliakan & menghormati al Hasan. Ia sering mengirim hadiah setiap tahun sebanyak seratus ribu dirham. Al Hasan pernah datang mengunjunginya, lalu Mu’awiyah memberinya hadiah sebanyak 4 ratus ribu dirham. (*4)

AQIDAH SALAF DALAM MENYIKAPI PERTIKAIAN nan TERJADI DI ANTARA SAHABAT
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin & orang-orang Anshar, nan mengikuti Nabi dlm masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [at Taubah/9:117]

Berkaitan dgn larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat, Ibnu Baththah rahimahullah berkata:

“Kita harus menahan diri dari pertikaian nan terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam, & telah mendahului nan lainnya dlm hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka & memerintahkan agar memintakan ampunan utk mereka, & mendekatkan diri kepadaNya dgn mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Tahu apa nan bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada nan lainnya, karena segala kesalahan & kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian nan terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah lihat komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa’idah & pertikaian-pertikaian lain nan terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis utk dirimu atau utk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, & jangan pula membacakannya kepada orang lain, & jangan pula mendengarkannya dari orang nan meriwayatkannya.

Itulah perkara nan disepakati oleh para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara nan kami sebutkan tersebut. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu’aib bin Harb, Abu Ishaq al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al Harits & Abdul Wahhab al Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat & mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang nan membahas & berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan nan diriwayatkan dari mereka nan ditujukan kepada orang-orang nan melakukannya, dgn lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci & mengingkari orang nan meriwayatkan & mendengarnya”. (*5)

Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin & Jamal, beliau berkata: “Urusan nan Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tak akan mencampurinya dgn lisanku”(*6)

Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al Marwadzi, ia berkata: “Ada nan berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu kami berada di tengah pasukan & kala itu datang pula seorang utusan khalifah, yakni Ya’qub, ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang pertikaian nan terjadi antara Ali & Mu’awiyah?”

Abu Abdillah menjawab,”Aku tak mengatakan kecuali nan baik, semoga Allah merahmati mereka semua. “(*7)

Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad nan isinya: “Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka & tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dgn seorangpun dari ahli bid’ah dlm masalah agama, & janganlah menyertakannya dlm perjalananmu”. (*8)

Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dlm suratnya:
“Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan nan dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi’ (ahli bid’ah), hingga ia mendoakan kebaikan & rahmat bagi seluruh sahabat & hatinya tulus mencintai mereka”(*9).
Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash Shaabuni rahimahullah berkata di dlm Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: “Ahlu Sunnah memandang, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. Menahan lisan dari perkataan nan mengandung celaan & pelecehan terhadap para sahabat”.

Dalam kitab Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata: “Termasuk Sunnah Nabi adalah, menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan para sahabat & pertikaian di antara mereka. Serta meyakini keutamaan mereka & mengenal kesenioran mereka”.

Dalam kitab Aqidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari memperbincangkan pertikaian di antara para sahabat. Mereka mengatakan, riwayat-riwayat nan dinukil tentang kejelekan mereka, sebagiannya ada nan dusta, ada nan ditambah-tambah & dikurangi serta dirobah-robah dari bentuk aslinya. Berdasarkan sikap nan benar, para sahabat dimaafkan kesalahannya. Mereka itu adalah alim mujtahid, nan kadangkala benar & kadangkala salah”.

Imam al Asy’ari dlm kitab al Ibanah mengatakan: “Adapun nan terjadi antara Ali, az Zubair & ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhum adalah bersumber dari takwil & ijtihad. Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin mereka masuk surga & mendapat syahadah (mati syahid). Itu menunjukkan bahwa, ijtihad mereka benar. Demikian pula nan terjadi antara Ali & Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhuma, juga bersumber dari takwil & ijtihad. Semua sahabat adalah imam & orang-orang nan terpercaya, bukanlah orang nan dicurigai agamanya”.

Al Qadhi Iyadh berkata dlm karyanya, Syarah Shahih Muslim: “Mu’awiyah termasuk sahabat nan shalih & termasuk sahabat nan utama. Adapun peperangan nan terjadi antara dirinya dgn Ali, & pertumpahan darah nan terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah takwil & ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat & benar”.

Al Qahthaani berkata dlm Nuniyah-nya:
Ucapkanlah sebaik-baik perkataan pada sahabat Muhammad
Pujilah seluruh ahli bait & isteri beliau
Tinggalkanlah pertikaian nan terjadi di antara sahabat
Saat mereka saling bertempur dlm sejumlah pertempuran
Yang terbunuh maupun nan membunuh
sama-sama dari mereka & utk mereka
Kedua pihak akan dibangkitkan pada hari berbangkit
dalam keadaan dirahmati
Allah akan membangkitkan mereka semua pada Hari Mahsyar
dan mencabut kebencian nan tersimpan dlm dada mereka

Hafizh al Hikmi berkata dlm Sullamul Wushul ila Ilmil Ushul:
Kemudian wajib menahan diri dari pertikaian di antara mereka
Yang mana hal tersebut telah berjalan menurut takdir ilahi
Mereka semua adalah mujtahid nan pasti mendapat pahala
Sementara kesalahan mereka diampuni Allah nan Maha Memberi.

Demikian penjelasan singkat mengenai sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pertikaian nan terjadi antara Sahabat Mu’awiyah & Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Begitu pula sikap kita ini kepada para sahabat Nabi n secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bish shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Referensi
(*1). Ditahqiq oleh Abdullah at Turki. Beliau memaparkan beberapa perbedaan nan terdapat dlm sejumlah naskah, namun perbedaan itu tak terlalu serius.
(*2). Shahih al Bukhari, hadits nomor 7352.
(*3). HR al Bukhari, 2704.
(*4). Tarikh Dimasyqi, XIII/166.
(*5). Al Ibanah, karya Ibnu Baththah, halaman 268. Bagi nan ingin mengetahui penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab as Sunnah, karya al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dlm kitab tersebut, tentang teguran keras terhadap orang nan menulis riwayat-riwayat nan berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
(*6). As Sunnah, karya al Khallal, 717.
(*7). As Sunnah, karya al Khallal, 713.
(*8). Thabaqaatul Hanaabilah, I/344.
(*9). Thabaqaatul Hanaabilah, I/345.
sumber: http://www.almanhaj.or.id penulis Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari tags: Abul Abbas, Wa Sallam, Imam Muslim

PERSELISIHAN ANTARA ALI DAN MU’AWIYAH SERTA PENDIRIAN AHLU SUNNAH DALAM MENYIKAPINYA
Tidak syak lagi, bahwasanya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu & orang-orang nan menyertainya lebih patut dikatakan sebagai kelompok nan benar daripada nan lainnya.

Imam Muslim meriwayatkan dlm Shahih-nya (1065) dari hadits al Qasim bin al Fadhl al Haddani, dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

“Kelak akan muncul 1 kelompok nan menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum Muslimin. Kelompok itu akan diperangi oleh kelompok nan lebih mendekati kebenaran dari 2 kelompok (yang bertikai itu)”

Abu Zakaria an Nawawi berkata di dlm Syarah Shahih Muslim (VII/168): “Riwayat-riwayat ini secara tegas menjelaskan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu berada di pihak nan benar. Sementara kelompok lain, para pengikut Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu tergolong kelompok nan menyempal, karena takwil keliru. Hadits itu juga menjelaskan, kedua kelompok tersebut tergolong mukmin, tak keluar dari lingkaran keimanan karena perang tersebut, & tak pula disebut fasik. Itulah pendapat kami. “

Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dlm Majmu’ Fatawa (IV/467): “Hadits ini, secara tegas menunjukkan bahwa kedua kelompok nan berperang itu, yakni kelompok Ali & orang-orang nan menyertainya, serta Mu’awiyah & orang-orang nan menyertainya, berada di atas kebenaran. Dan sesungguhnya, Ali & sahabat-sahabatnya lebih mendekati kebenaran daripada Mu’awiyah & sahabat-sahabatnya”. Ibnul Arabi juga mengeluarkan pernyataan senada dlm kitab al Awashim halaman 307.

Abul Fida’ Ibnu Katsir dlm al Bidayah wan Nihayah (*1) (X/563) berkata: “Hadits ini termasuk mu’jizat kenabian, sebab benar-benar telah terjadi seperti nan dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok nan bertikai itu, yakni penduduk Syam & penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, nan mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali paling mendekati kebenaran; itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Ali berada di pihak nan benar, & Mu’awiyah memeranginya karena ijtihad nan keliru, & ia berhak mendapat 1 pahala atas kesalahan ijtihad itu, insya Allah. Sedangkan Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah imam nan sah, berada di pihak nan benar insya Allah, & berhak mendapat 2 pahala”.

Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu Ali Radhiyallahu ‘anhu berada di pihak nan benar. Adapun Mu’awiyah nan memerangi Ali telah salah dlm ijtihadnya, & ia mendapat 1 pahala atas kesalahan ijtihadnya tersebut, insya Allah. Sebagaimana disebutkan dlm Shahih al Bukhari (*2), dari hadits Amru bin al Ash Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat 2 pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat 1 pahala”

Hadits di atas lebih dijelaskan lagi oleh hadits nan diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dlm Shahih-nya (3609) & Muslim (2214) dari jalur Ma’mar dari Hammam dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ وَتَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ وَدَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga muncul 2 kelompok nan saling berperang & akan terjadi pertumpahan darah nan hebat, sedangkan dakwah keduanya sama”.

Hadits ini menjelaskan hadits sebelumnya, Abul Fida’ Ibnu Katsir berkata di dlm al Bidayah wan Nihayah (IX/192): “Kedua kelompok itu adalah 2 kelompok nan terlibat dlm peperangan Jamal & Shifin. Karena kala itu, dakwah ke 2 kelompok tersebut sama. Yakni sama-sama menyeru kepada Islam. Mereka hanya berselisih pendapat tentang masalah kekuasaan, & dlm menetapkan mashlahat bagi umat & segenap rakyat. Tidak terlibat dlm peperangan itu adalah lebih utama, daripada melibatkan diri ke dalamnya. Itulah madzhab jumhur sahabat”.

PERDAMAIAN ANTARA MU’AWIYAH DAN AL HASAN BIN ALI
Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu secara resmi memegang tampuk kekhalifahan setelah al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma mengundurkan diri demi menghentikan pertumpahan darah di antara kaum Muslimin.

Imam al Bukhari meriwayatkan dlm kitab Shahih-nya, dari jalur Abdullah bin Muhammad dari Sufyan dari Abu Musa, ia berkata:

Saya mendengar al Hasan berkata: “Demi Allah, al Hasan bin Ali mendatangi Mu’awiyah dgn membawa pasukan besar laksana gunung”.

Amru bin al Ash berkata,”Menurutku pasukan ini tak akan kembali hingga menghancurkan lawannya”.

Mu’awiyah –beliau adalah sebaik-baik orang- berkata kepadanya: “Hai, Amru. Jika kedua pasukan ini saling bunuh, lantas siapakah nan akan mengatur urusan kaum Muslimin? Siapakah nan melindungi para wanita muslimah? Siapakah nan melindungi harta benda mereka?” maka Mu’awiyah mengutus 2 orang Quraisy dari Bani Abdi Syams kepada al Hasan, yakni Abdurrahman bin Samurah & Abdullah bi Amir bin Kuraiz.

Mu’awiyah berkata kepada mereka berdua: “Temuilah ia, tawarkanlah (perdamaian) kepadanya. Katakanlah kepadanya & mintalah agar ia menerimanya,” maka kedua utusan itupun menemui al Hasan & mengutarakan maksudnya, & memintanya agar menerima tawaran mereka. Lalu al Hasan bin Ali berkata kepada mereka berdua: “Kami dari kabilah Bani Abdul Muththalib telah memperoleh harta ini, & sesungguhnya umat ini telah tertumpah darahnya”.

Keduanya berkata,”Sesungguhnya Mu’awiyah menawarkan ini & ini kepadamu, ia meminta agar Anda menerimanya. “

Al Hasan berkata,”Siapakah nan akan mendukungku?”

“Kamilah nan mendukungmu,” jawab mereka berdua.

Setiap kali al Hasan menanyakan hal itu, keduanya menjawab: “Kamilah nan mendukungmu, berdamailah dengannya”

Al Hasan berkata: “Saya mendengar Abu Bakrah berkata,’Aku pernah melihat Rasulullah di atas mimbar, sementara al Hasan bin Ali di sisi beliau. Kadangkala Rasulullah menatap al Hasan, & kadangkala menatap para hadirin, lalu (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata:

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“(Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan 2 kelompok besar kaum Muslimin nan bertikai)”(*3).

Demikianlah Allah menghindarkan terjadinya peperangan di antara kaum Mukminin melalui as Sayyid al Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Al Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu’awiyah & membaiatnya utk menegakkan kitabullah & Sunnah NabiNya. Maka Mu’awiyah pun memasuki Kufah, & kaum Muslimin membaiatnya. Dalam sejarah Islam, tahun itu disebut tahun Jama’ah; karena pada tahun itu kaum Muslimin bersatu. Semua orang nan sebelumnya menghindarkan diri dari fitnah, mereka turut membaiat Mu’awiyah, seperti Sa’id bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah & lainnya.

Abul Fadhl Ibnu Hajar dlm Fathul Bari (6613) menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

1). Menerangkan salah 1 mu’jizat kenabian.
2). Menerangkan keutamaan al Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhu nan telah mengundurkan diri dari tampuk kekhalifahan bukan karena sedikit pendukung atau kalah, & bukan pula karena kesalahan, namun semata-mata mengharap balasan di sisi Allah, ketika beliau melihat hal itu dapat menghentikan pertumpahan darah di antara kaum Muslimin. Beliau lebih mengedepankan kemashlahatan agama & kemashlahatan umat.
3). Bantahan terhadap kelompok Khawarij nan mengkafirkan Ali & orang-orang nan menyertai beliau serta mengkafirkan Mua’wiyah & orang-orang nan bersama beliau. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa kedua kelompok itu masih tergolong muslim.
4). Keutamaan usaha perdamaian di antara manusia, terutama demi memelihara darah kaum Muslimin.
5). Bukti kasih-sayang Mu’awiyah kepada rakyatnya & kasih-sayangnya terhadap kaum Muslimin, ketajaman pandangannya dlm mengatur negara & kearifan beliau dlm melihat akibat nan akan terjadi.

Perkataan Ibnu Hajar “Bukti kasih sayang Mu’awiyah kepada rakyatnya . . . . . . ” didasarkan atas pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pengunduran diri al Hasan dari tampuk kekhalifahan & menyerahkannya kepada Mu’awiyah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.

MU’AWIYAH TIDAKLAH MEMBENCI ALI, AL-HASAN DAN AHLI BAIT
Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu juga memuliakan & menghormati al Hasan. Ia sering mengirim hadiah setiap tahun sebanyak seratus ribu dirham. Al Hasan pernah datang mengunjunginya, lalu Mu’awiyah memberinya hadiah sebanyak 4 ratus ribu dirham. (*4)

AQIDAH SALAF DALAM MENYIKAPI PERTIKAIAN nan TERJADI DI ANTARA SAHABAT
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin & orang-orang Anshar, nan mengikuti Nabi dlm masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [at Taubah/9:117]

Berkaitan dgn larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat, Ibnu Baththah rahimahullah berkata:

“Kita harus menahan diri dari pertikaian nan terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam, & telah mendahului nan lainnya dlm hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka & memerintahkan agar memintakan ampunan utk mereka, & mendekatkan diri kepadaNya dgn mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Tahu apa nan bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada nan lainnya, karena segala kesalahan & kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian nan terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah lihat komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa’idah & pertikaian-pertikaian lain nan terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis utk dirimu atau utk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, & jangan pula membacakannya kepada orang lain, & jangan pula mendengarkannya dari orang nan meriwayatkannya.

Itulah perkara nan disepakati oleh para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara nan kami sebutkan tersebut. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu’aib bin Harb, Abu Ishaq al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al Harits & Abdul Wahhab al Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat & mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang nan membahas & berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan nan diriwayatkan dari mereka nan ditujukan kepada orang-orang nan melakukannya, dgn lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci & mengingkari orang nan meriwayatkan & mendengarnya”. (*5)

Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin & Jamal, beliau berkata: “Urusan nan Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tak akan mencampurinya dgn lisanku”(*6)

Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al Marwadzi, ia berkata: “Ada nan berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu kami berada di tengah pasukan & kala itu datang pula seorang utusan khalifah, yakni Ya’qub, ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang pertikaian nan terjadi antara Ali & Mu’awiyah?”

Abu Abdillah menjawab,”Aku tak mengatakan kecuali nan baik, semoga Allah merahmati mereka semua. “(*7)

Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad nan isinya: “Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka & tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dgn seorangpun dari ahli bid’ah dlm masalah agama, & janganlah menyertakannya dlm perjalananmu”. (*8)

Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dlm suratnya:
“Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan nan dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi’ (ahli bid’ah), hingga ia mendoakan kebaikan & rahmat bagi seluruh sahabat & hatinya tulus mencintai mereka”(*9).
Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash Shaabuni rahimahullah berkata di dlm Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: “Ahlu Sunnah memandang, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. Menahan lisan dari perkataan nan mengandung celaan & pelecehan terhadap para sahabat”.

Dalam kitab Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata: “Termasuk Sunnah Nabi adalah, menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan para sahabat & pertikaian di antara mereka. Serta meyakini keutamaan mereka & mengenal kesenioran mereka”.

Dalam kitab Aqidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari memperbincangkan pertikaian di antara para sahabat. Mereka mengatakan, riwayat-riwayat nan dinukil tentang kejelekan mereka, sebagiannya ada nan dusta, ada nan ditambah-tambah & dikurangi serta dirobah-robah dari bentuk aslinya. Berdasarkan sikap nan benar, para sahabat dimaafkan kesalahannya. Mereka itu adalah alim mujtahid, nan kadangkala benar & kadangkala salah”.

Imam al Asy’ari dlm kitab al Ibanah mengatakan: “Adapun nan terjadi antara Ali, az Zubair & ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhum adalah bersumber dari takwil & ijtihad. Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin mereka masuk surga & mendapat syahadah (mati syahid). Itu menunjukkan bahwa, ijtihad mereka benar. Demikian pula nan terjadi antara Ali & Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhuma, juga bersumber dari takwil & ijtihad. Semua sahabat adalah imam & orang-orang nan terpercaya, bukanlah orang nan dicurigai agamanya”.

Al Qadhi Iyadh berkata dlm karyanya, Syarah Shahih Muslim: “Mu’awiyah termasuk sahabat nan shalih & termasuk sahabat nan utama. Adapun peperangan nan terjadi antara dirinya dgn Ali, & pertumpahan darah nan terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah takwil & ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat & benar”.

Al Qahthaani berkata dlm Nuniyah-nya:
Ucapkanlah sebaik-baik perkataan pada sahabat Muhammad
Pujilah seluruh ahli bait & isteri beliau
Tinggalkanlah pertikaian nan terjadi di antara sahabat
Saat mereka saling bertempur dlm sejumlah pertempuran
Yang terbunuh maupun nan membunuh
sama-sama dari mereka & utk mereka
Kedua pihak akan dibangkitkan pada hari berbangkit
dalam keadaan dirahmati
Allah akan membangkitkan mereka semua pada Hari Mahsyar
dan mencabut kebencian nan tersimpan dlm dada mereka

Hafizh al Hikmi berkata dlm Sullamul Wushul ila Ilmil Ushul:
Kemudian wajib menahan diri dari pertikaian di antara mereka
Yang mana hal tersebut telah berjalan menurut takdir ilahi
Mereka semua adalah mujtahid nan pasti mendapat pahala
Sementara kesalahan mereka diampuni Allah nan Maha Memberi.

Demikian penjelasan singkat mengenai sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pertikaian nan terjadi antara Sahabat Mu’awiyah & Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Begitu pula sikap kita ini kepada para sahabat Nabi n secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bish shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Referensi
(*1). Ditahqiq oleh Abdullah at Turki. Beliau memaparkan beberapa perbedaan nan terdapat dlm sejumlah naskah, namun perbedaan itu tak terlalu serius.
(*2). Shahih al Bukhari, hadits nomor 7352.
(*3). HR al Bukhari, 2704.
(*4). Tarikh Dimasyqi, XIII/166.
(*5). Al Ibanah, karya Ibnu Baththah, halaman 268. Bagi nan ingin mengetahui penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab as Sunnah, karya al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dlm kitab tersebut, tentang teguran keras terhadap orang nan menulis riwayat-riwayat nan berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
(*6). As Sunnah, karya al Khallal, 717.
(*7). As Sunnah, karya al Khallal, 713.
(*8). Thabaqaatul Hanaabilah, I/344.
(*9). Thabaqaatul Hanaabilah, I/345.
sumber: http://www.almanhaj.or.id penulis Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari tags: Abul Abbas, Wa Sallam, Imam Muslim

 

http://www.senyummuslim.com/sikap-ahlus-sunnah-terhadap-muawiyah-dan-pertikaiannya-dengan-ali-abul-abbas-1463.htm

 

Siapa Kita, Siapa Mu’awiyah?

Salah satu cara “halus” yang digunakan oleh musuh-musuh Islam demi memadamkan cahaya Allah l adalah merusak citra para sahabat Rasulullah n. Dikatakan “halus” karena banyak dari kalangan muslim yang terpengaruh ikut-ikutan larut dalam “settingan” ini. Sebutlah Sayyid Quthub—tokoh Ikhwanul Muslimin—yang menyudutkan Utsman bin Affan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash g; bahkan mencela Nabiyullah Musa q. Demikian juga Abul A’la al-Maududi yang mencitrakan sosok Mu’awiyah dengan sangat buruk. Sementara itu, dari luar Islam, Syiah Rafidhah—selain mengafirkan hampir seluruh sahabat—adalah kelompok yang paling getol mencaci maki Mu’awiyah.
Dengan menyusupkan berita dusta dan hadits-hadits palsu, Mu’awiyah digambarkan oleh para pencela sahabat sebagai pribadi yang penuh khianat, licik, ambisius, dsb.
Padahal, kalangan Islam telah bersepakat bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah seorang sahabat. Oleh karena itu, jika ada ayat atau hadits yang mengungkapkan tentang kemuliaan sahabat secara umum, beliau termasuk di dalamnya. Secara khusus, hadits-hadits yang sahih juga menyebutkan keutamaan-keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Di antaranya, beliau adalah salah satu sahabat yang dipercaya menjadi penulis wahyu, beliau dijamin masuk jannah, seorang yang faqih, dsb.
Patut digarisbawahi di sini, mencela sahabat sendiri bukanlah perkara remeh. Ini sudah masuk ranah akidah. Sahabat Rasulullah n adalah perantara kita dengan Rasulullah n. Merekalah pembawa kabar-kabar dari Rasulullah n. Semua ilmu agama, baik bersumber dari al-Qur’an maupun hadits, sampai kepada kita melalui perantaraan mereka. Tak heran jika musuh-musuh Islam dan yang terpengaruh oleh mereka, mencela para sahabat ini dengan cerita-cerita dusta, hadits-hadits lemah dan palsu, bahkan yang tidak ada asalnya sama sekali, demi menjadikan umat Islam ragu terhadap para sahabat Rasulullah n. Ujung-ujungnya, mereka meragukan al-Qur’an atau hadits yang sampai kepada mereka walaupun hadits-hadits tersebut sahih, terutama jika diriwayatkan oleh sahabat yang mereka cela.
Alhasil, menjadi penting bagi kita untuk terus menyuarakan pembelaan terhadap para sahabat yang niscaya penistaan terhadap mereka tak akan berhenti sampai kapan pun. Lucunya, ada kalangan Islam yang meradang ketika pelecehan terhadap sahabat dilakukan oleh orang liberal semacam Faraj Fouda atau Thaha Husain, tetapi ketika yang melakukannya adalah Sayyid Quthub yang mereka idolakan, mereka tutup mata dan membela idolanya mati-matian. Ketika pengagum Faraj Fouda menggelari idolanya dengan Syahid al-Kalimah atau Syahid al-Fikr, demikian juga pengagum Sayyid Quthub menggelari idolanya dengan asy-Syahid, gelar yang tentunya teramat tidak pantas disandang para pencela sahabat Rasulullah n.
Seorang muslim semestinya menahan lisannya dari mencela sahabat Rasulullah n. Bagaimana mungkin seorang muslim sampai hati memberikan gambaran yang sangat tidak beradab tentang sahabat Rasulullah n dan mempertajam citra buruk mereka, padahal Allah l telah memuji mereka dalam firman-Nya? Apa keuntungan yang kita cari dengan mengumbar fitnah dan caci maki kepada sahabat Nabi n? Atau jangan-jangan, para penghujat merasa lebih mulia dari para sahabat, generasi yang Allah l ridha kepada mereka? Na’udzubillah.

http://asysyariah.com/muawiyah.html

Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah Bintu Abi Sofyan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Sahabat Rasulullah n adalah kaum yang telah mengorbankan harta, jiwa, dan segala yang mereka miliki fi sabilillah saat kebanyakan manusia memerangi agama Allah l.Sepeninggal Rasulullah n, mereka tidak menghentikan langkah menegakkan kalimat Allah l. Pengorbanan, keberanian, dan sikap kesatria terus menghiasi lembaran-lembaran tarikh (sejarah).
Mengikuti jejak sahabat dan mencintai mereka adalah bagian penting akidah dan salah satu pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengannya, umat mencapai kemuliaan dan selamat dari kesesatan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sungguh, di antara kalian yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang diberi petunjuk. Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan sahih.”)
Ketika Rasulullah n bercerita tentang perpecahan umat, beliau ditanya tentang golongan yang selamat. Beliau n menjawab,
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“(Yaitu orang yang berjalan pada) jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya hari ini.”
Al-Imam Malik t berkata,
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Akhir dari umat ini tidak akan baik melainkan dengan menempuh jalan yang menyebabkan generasi awal (sahabat) menjadi baik.”
Musuh-musuh Islam mengerti faktor kejayaan ini. Mereka paham bahwa menjadikan sahabat sebagai suri teladan adalah pokok mendasar bagi umat Islam untuk meraih kejayaan. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila mereka dengan gigih berusaha menjauhkan kaum muslimin dari generasi sahabat.
Segala cara ditempuh. Manipulasi sejarah, celaan, dan cercaan, tak kunjung henti tertuju kepada sahabat-sahabat Rasul n. Makar musuh Islam merusak citra sahabat telah dipraktikkan oleh pemimpin kaum munafik di zaman Rasulullah n, Abdullah bin Ubai bin Salul. Dia menebarkan fitnah seputar tuduhan zina terhadap Aisyah x.1
Konspirasi menggulung kemuliaan sahabat adalah makar besar musuh-musuh Islam: Yahudi, Syiah Rafidhah, para orientalis, dan sekutunya. Demi Allah, tidak sedikit sahabat yang menjadi sasaran celaan dan caci maki, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Demikian kenyataan yang harus kita hadapi. Mereka membuat makar, kita pun harus berjuang membela kehormatan generasi mulia yang telah berjasa terhadap umat ini. Kita tidak boleh berputus asa menegakkan prinsip yang agung ini. Sesungguhnya Allah l pasti membalas makar mereka.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali Imran: 54)
“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu….” (Ibrahim: 46)

Kedengkian Musuh Allah l Menyaksikan Kejayaan Islam
Pada masa sahabat, kekuatan daulah islamiyah kokoh di muka bumi. Kekuatan politik Islam dan tentara-tentara Allah l menjadi kekuatan yang sangat ditakuti. Kekaisaran Romawi dan Persia pun harus bertekuk lutut di hadapan tentara-tentara Allah l. Futuhat islamiyah (perluasan wilayah Islam) tidak bisa dibendung di masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, termasuk di zaman pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c yang telah memimpin kaum muslimin dengan penuh keadilan selama dua puluh tahun (41—60 H).
Cahaya tauhid terus menyebar ke seluruh penjuru barat dan timur dunia, berjalan pasti bersama langkah kaki generasi paling mulia, mewujudkan kabar gembira ar-Rasul n dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا، وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ: الْأَحْمَرَ وْالْأَبْيَضَ
“Sesungguhnya Allah l mengumpulkan bumi untukku hingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan mencapai bagian bumi yang digulungkan di hadapanku, dan aku diberi Allah dua perbendaharaan, emas dan perak (yakni Romawi dan Persia, -pen).” (HR. Muslim 4/2215 no. 2889 dari Tsauban z)
Kejayaan Islam tentu tidak diharapkan oleh musuh-musuh Islam. Kedengkian telah merasuki dada mereka. Perjuangan sahabat semakin bersinar, sementara itu musuh-musuh Islam semakin geram dan sesak dada menyaksikan kemuliaan Islam. Hal ini sesuai dengan permisalan sahabat yang disebutkan oleh Allah l dalam firman-Nya,
“Sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….” (al-Fath: 29)
Mereka tidak berdaya memerangi muslimin dengan kekuatan fisik. Upaya yang mereka anggap bermanfaat adalah dengan merusak akidah Islam dalam dada para pemeluknya, memperburuk citra Islam di tengah-tengah manusia, dan berusaha mencerai-beraikan barisan muslimin, serta mewujudkan keragu-raguan tentang agama yang mulia ini.
Makar demi makar muncul. Di antara makar besar yang pengaruhnya masih tampak hingga saat ini adalah makar Abdullah bin Saba’ al-Yahudi. Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan z adalah buah makar Ibnu Saba’, demikian pula fitnah-fitnah berikutnya. Munculnya sekte Rafidhah pun tidak lepas dari peran sosok Ibnu Saba’ al-Yahudi.2
Hadits-hadits Rasulullah n dan tarikh Islam tidak luput dari makar. Mereka menebarkan hadits-hadits palsu dan menyusupkan kedustaan demi kedustaan, terutama terkait dengan tarikh sahabat Rasulullah n.
Demikianlah kaum zindiq (munafik) membuat makar. Mereka menyusup di tengah-tengah kaum muslimin sembari menyebarkan berita-berita dusta dalam hal akidah, ibadah, akhlak, muamalah, atau perkara halal haram. Semua itu untuk sebuah tujuan: merusak agama Islam dan memecah belah barisan kaum muslimin.
Riwayat Palsu adalah Makar Musuh Islam
Di antara makar musuh Islam adalah menyebarkan banyak riwayat maudhu’ (palsu) untuk merusak syariat dan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, para ulama menganggap penting untuk mengumpulkan hadits-hadits maudhu’ tersebut dalam buku-buku khusus, di antaranya kitab al-Maudhu’at karya al-Imam Ibnul Jauzi t, sebagai peringatan bagi umat, walhamdulillah.
Perhatikan contoh hadits palsu berikut sebagai bukti makar orang kafir.
إِنَّ اللهَ خَلَقَ خَيْلًا فَأَجْرَاهَا فَعَرَقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهُ مِنْ ذَلِكَ الْعَرْقِ
“Allah menciptakan kuda, lalu kuda itu dijalankan hingga berkeringat. Allah lalu menciptakan Diri-Nya dengan keringat itu.”
A’udzubillahi minasy syaithanir rajim! Demi Allah, ini adalah kalimat kekafiran yang sengaja diembuskan oleh kaum zindiq untuk merusak akidah muslim tentang Rabb-Nya.
Ibnul Jauzi t berkata, “Hadits ini tidak diragukan kepalsuannya. Tidak mungkin ada seorang muslim pun memalsukan hadits seperti ini.” (al-Maudhu’at 1/105)
Mereka juga membuat kedustaan tentang kerasulan. Muhammad bin Sa’id asy-Syami al-Mashlub, misalnya.3 Pendusta ini telah memalsukan riwayat yang merusak salah satu pokok Islam tentang rasul terakhir. Melalui jalan Humaid, dari Anas z, Muhammad bin Sa’d al-Mashlub meriwayatkan sabda Rasulullah n,
أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ
“Aku penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku melainkan apabila Allah menghendaki.” (Dikeluarkan Ibnul Jauzi dalam al-Mudhu’at 1/279)
Kalimat “melainkan apabila Allah menghendaki” yang ia dustakan atas nama Nabi n membuka celah adanya nabi sesudah beliau n.
Saudaraku muslim, jika musuh-musuh Islam berani merusak akidah tentang Allah l dan Rasul-Nya, lebih tidak mustahil lagi mereka menebarkan kedustaan untuk mencoreng kehormatan sahabat dan merusak tarikh mereka yang gemilang, baik kedustaan itu tertuju pada sahabat secara umum (sebagai sebuah generasi) atau individu sahabat, seperti Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abu Hurairah, Amr bin al-Ash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Sufyan, Khalid bin al-Walid, Abu Musa al-Asyari, dan lainnya g.
Setan manusia dan setan jin bahu-membahu dalam makar menebar dusta ini, seperti dalam firman Allah l,
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)….” (al-An’am: 112)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, Target Makar Musuh Allah l
Di antara hadits palsu yang dimaksudkan untuk mencerca beberapa individu sahabat adalah hadits-hadits tentang Mu’awiyah z. Diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِي فَاقْتُلُوهُ
“Apabila kalian melihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku, bunuhlah ia.”
Teks hadits ini lahiriahnya berisi celaan atas Mu’awiyah z, bahkan tidak berlebihan seandainya sebagian manusia mengafirkan Mu’awiyah dengan hadits ini. Namun, ternyata hadits ini adalah sebuah kedustaan yang diatasnamakan Rasul n.
Tentang hadits ini dan beberapa hadits lain yang ditebarkan musuh-musuh Islam untuk mencela Mu’awiyah z sebagai jembatan mencela generasi sahabat, akan kita khususkan pembahasannya dalam rubrik “Hadits” kali ini dengan judul Benarkah Hadits-Hadits Rasulullah n Menghujat Mu’awiyah z?

Pentingnya Pembahasan tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c menjadi topik pembahasan penting. Di antara sebabnya adalah musuh-musuh Islam, baik yang kafir maupun yang munafik, seringkali mengupas sejarah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dengan tidak adil dan jauh dari kaidah-kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ulama.
Membahas akidah Ahlus Sunnah tentang sahabat Mu’awiyah z sangatlah mendesak, lebih-lebih di zaman kita, saat media-media semakin maju. Di dunia maya, musuh-musuh Islam dengan leluasa berbicara seenaknya mencaci-maki Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Racun-racun yang ditebarkan menyebabkan banyak debu menutupi pemikiran sebagian muslimin tentang sahabat ini. Akhirnya, beliau dipandang sebelah mata atau malah benar-benar menjadi bahan cemoohan dan caci maki.
Syiah Rafidhah termasuk makhluk buruk yang paling doyan mencerca sahabat. Kenyataan ini tidak bisa mereka mungkiri karena bukti-bukti celaan tersebut nyata tertera dalam buku-buku rujukan mereka, termasuk tulisan dan ucapan tokoh-tokoh terdepan mereka semacam Khomeini. Mereka mengafirkan Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, bahkan seluruh sahabat, kecuali beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari.
Tidak lupa pula kita ingatkan kepada pembaca, mereka—Rafidhah—juga mencela Aisyah x dan menuduhnya berbuat keji (zina). Padahal para ulama telah bersepakat tentang kafirnya orang yang menuduh Aisyah melakukan perbuatan itu karena ia telah mengingkari al-Qur’an yang dengan tegas membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut.
Maka dari itu, tidak heran ketika kita saksikan Rafidhah bersama barisan Yahudi, orientalis, dan munafik berupaya keras mencabik kehormatan Mu’awiyah z. Jangankan sosok Mu’awiyah z, Aisyah binti Abu Bakr c yang adalah ibunda kaum mukminin, mereka berani mengobok-obok nama baik beliau, wal ‘iyadzu billah.
Sebelum kita memasuki pembahasan tentang sahabat Mu’awiyah z lebih dalam, perlu disadari bahwa pembelaan terhadap kehormatan Mu’awiyah z adalah pembahasan yang sangat penting di zaman ini. Sebab, akidah tentang sahabat menjadi sebuah masalah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin.4
Adapun pemilihan tema pembelaan terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, banyak alasan yang mendasarinya sebagaimana diisyaratkan di atas.
Di samping itu, beberapa alasan lain yang patut disebutkan di sini di antaranya:
1. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits, menjadikan sikap terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sebagai salah satu barometer akidah seorang muslim tentang sahabat Nabi n.
Artinya, sikap jelek yang ditampakkan seseorang terhadap Mu’awiyah z adalah pertanda buruk akan sikapnya yang tidak baik kepada sahabat secara umum. Demikianlah kebiasaan yang berlaku. Jika ada seseorang mencela Mu’awiyah z, ia akan berani mencela sahabat lainnya karena Mu’awiyah bin Abi Sufyan c bagian dari sahabat, generasi terbaik yang telah diridhai oleh Allah l.
Ar-Rabi’ bin Nafi’ t mengatakan,
مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سِتْرُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n فَإِذَا كَشَفَ الرَّجُلُ السِّتْرَ اجْتَرَأَ عَلَى مَا وَرَاءَهُ
“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang atas apa yang ada di baliknya (yakni dia akan lancang mencela sahabat lainnya).” (Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
2. Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sering dicemarkan dalam berbagai kajian, kurikulum pendidikan, atau mata kuliah sejarah. Dengan demikian, kita mengharapkan para pelajar, lebih-lebih para guru dan dosen sejarah, takut kepada Allah l ketika membicarakan sahabat yang mulia dan segera kembali kepada jalan salafus saleh.
3. Beliau dituduh sebagai raja yang zalim, suka menumpahkan darah, nepotisme, ahli maksiat, dan sebagainya. Bahkan, sebagian orang yang celaka berani mengeluarkan beliau dan ayahnya dari keislaman.
Sungguh jauh penilaian ini dengan penilaian ahlul hadits dan ahli sejarah Islam yang lurus akidahnya. Para sahabat, tabi’in, dan ulama Ahlus Sunnah bersepakat bahwa beliau dan ayahnya adalah sahabat Rasulullah n dan orang yang mulia.
4. Banyak kaum muslimin—karena kejahilan—lebih menempatkan Umar bin Abdul Aziz t sebagai khalifah kelima—setelah al-Khulafa’ ar-Rasyidin—dan melupakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Seolah-olah, di alam ini tidak terlahir seorang pun bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Penilaian tersebut tentu tidak benar. Keutamaan Mu’awiyah z sebagai sahabat Rasulullah n tidak bisa dibandingkan dengan Umar bin Abdul Aziz t, seorang tabi’in. Bahkan, pemerintahan Mu’awiyah jauh lebih adil dan lebih sentosa dibandingkan dengan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz t.
5. Syiah Rafidhah sangat gencar melancarkan makarnya untuk menjatuhkan nama baik Mu’awiyah z dan seluruh sahabat Rasulullah n.
Mu’awiyah divonis kafir oleh para penganut agama Syiah Rafidhah. Mu’awiyah dituduh sebagai pemberontak, tokoh yang selalu mencaci-maki Ali, bahkan dianggap sebagai dalang pembunuhan sahabat Ali, peminum khamr, ahli maksiat, dan sekian tuduhan buruk tertuju pada beliau.
Semua tuduhan itu dihiasi dengan pemutarbalikan fakta, berita-berita palsu, dan penafsiran ngawur tentang beberapa peristiwa tarikh. Bahkan, dihiasi pula dengan dalil-dalil dari hadits yang sebagiannya akan kita bahas dalam rubrik hadits edisi ini. Semua itu mereka lakukan untuk merobek kehormatan Mu’awiyah dan seluruh sahabat Rasulullah n.
6. Adanya beberapa tokoh pergerakan Islam yang sangat tersohor, melontarkan pernyataan-pernyataan miring tentang sahabat, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dengan sebab kebodohan.
Sebut saja sebagai misal adalah Sayyid Quthub. Dalam tulisannya, al-‘Adalah al-Ijtima’iyah hlm. 206, ia mencela sahabat Utsman bin Affan z dengan perkataannya, “Kami condong kepada penetapan bahwa kekhilafahan Ali adalah perpanjangan dari kekhilafahan syaikhain (yakni Abu Bakr dan Umar) sebelumnya. Adapun kekhilafahan Utsman bin Affan hanyalah celah (kekosongan) antara keduanya.”
Lihatlah, wahai kaum muslimin, kekhilafahan Utsman bin Affan z sejak tahun 23—35 H tidak dianggap oleh seorang Sayyid Quthub. Padahal pemerintahan beliau adalah mata rantai yang tidak bisa dilepas dari sejarah perjuangan Islam.
Ia juga berbicara tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, menyematkan sifat dusta, khianat, dan kemunafikan pada pribadi beliau. Dalam tulisannya, al-Kutub wa Syakhshiyat (hlm. 242), ia mengatakan, “… dan ketika Mu’awiyah dan temannya (yakni Amr bin al-‘Ash) telah condong kepada kedustaan, penipuan, pengkhianatan, kemunafikan, suap, dan menjual tanggung jawab (amanat-amanat),….”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t mengomentari ucapan Sayyid Quthub di atas, “Ini adalah ucapan kotor. Ini adalah ucapan yang kotor, mencela Mu’awiyah dan mencela Amr bin al-Ash.” (Dari kaset Aqwal al-Ulama fi Muallafati Sayyid Quthub, Tasjilat Minhajus Sunnah, Riyadh)

Lebih menyedihkan lagi ketika Sayyid Quthub berbicara tentang Abu Sufyan bin Harb z. Ia berkata meragukan keislaman Abu Sufyan, “Keislamannya adalah Islam di bibir dan lisan, bukan keimanan dalam hati. Keislaman belumlah masuk ke dalam kalbu laki-laki itu….” Ucapannya ini terlontar di Majalah al-Muslimun edisi ketiga tahun 1371 H.
Lihatlah, betapa berbahaya ucapan Sayyid Quthub ini. Anehnya, tokoh seperti Sayyid Quthub ini justru sangat dielu-elukan oleh sebagian firqah (kelompok sempalan), seperti Ikhwanul Muslimin.
Sungguh aneh, ketika Sayyid Quthub dikritik, mereka marah. Namun, ketika sahabat Utsman bin Affan z, Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), penyandang janji surga, dicela oleh Sayyid Quthub, demikian pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dan ayahnya, mereka duduk manis tidak bergeming. Demikian parahkah kerusakan al-wala’ wal bara’ yang ada dalam timbangan Ikhwanul Muslimin?
Allahul musta’an.

Catatan Kaki:

1 Ibnu Salul mencemarkan nama baik keluarga Rasulullah n dengan menebar berita dusta (haditsul ifk) bahwa Ummul Mukminin Aisyah x melakukan perbuatan keji dengan sahabat Shafwan ibnu Mu’aththal z. Berita dusta itu ditebarkan seusai Perang Bani Musthaliq, bulan Sya’ban 5 H. Kedustaannya tersingkap dengan turunnya surat an-Nur yang membebaskan Aisyah x dari tuduhan tersebut.

2 Keberadaan Ibnu Saba’ dan makarnya dapat dilihat kembali pada Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian Utama berjudul Kontroversi Ibnu Saba’ al-Yahudi.
3 Ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Muhammad bin Sa’id adalah kadzdzab (pendusta).”
Dalam sebagian riwayat, al-Imam Ahmad berkata, “Ia dibunuh oleh Abu Ja’far (yang berjuluk al-Manshur, seorang khalifah Abbasiyah) karena kezindikannya. Hadits-haditsnya adalah hadits maudhu’.”

4 Alhamdulillah, pembahasan tentang sahabat telah banyak diangkat di Majalah Asy-Syariah. Pembaca dapat merujuk pada edisi-edisi yang telah lalu.

http://asysyariah.com/konspirasi-mencabik-kehormatan-muawiyah-bintu-abi-sofyan.html

Keutamaan Mu’awiyah Kesepakatan Ahlussunah Sepanjang Zaman

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z adalah perkara yang sangat jelas menurut para sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Demikian pula dalam pandangan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Keutamaan Mu’awiyah z adalah kesepakatan umat. Tidak ada seorang ulama pun yang mencela Mu’awiyah z, apalagi mengeluarkan beliau dari wilayah Islam. Justru sebaliknya, ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah z adalah sahabat Rasulullah n, generasi terbaik yang beliau n puji. Adapun dalil-dalil kaum zindiq (munafik) untuk menyudutkan Mu’awiyah z, semua adalah dalil-dalil palsu, lemah, atau riwayat sahih yang disimpangkan maknanya menurut akal mereka yang rusak.
Dalam ruang yang terbatas mari kita telaah bersama beberapa keutamaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Semoga Allah l memberkahi setiap langkah kita dan membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Amin.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, Paman Kaum Mukminin
Beliau adalah Amirul Mukminin, Abu Abdirrahman Mu’awiyah bin Abi Sufyan—Harb—bin Umayyah bin Abdisy Syams bin Abdi Manaf al-Umawi z.
Nasabnya yang mulia bertemu dengan nasab Utsman bin Affan z pada Umayyah bin Abdisy Syams, dan bertemu dengan nasab Rasulullah n pada kakeknya, Abdu Manaf.
Beliau masuk Islam sebelum Fathu Makkah. Ibnu Asakir t meriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq dengan sanadnya sampai kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, ia berkata, “Aku telah masuk Islam lebih dahulu dari itu (Fathu Makkah), tetapi aku menyembunyikan keislamanku… Demi Allah, ketika Rasulullah n meninggalkan Hudaibiyah, saat itulah aku beriman kepada beliau.”1
Mu’awiyah z memiliki kedekatan dengan Rasulullah n. Saudarinya seayah, Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan z, dipersunting oleh Rasulullah n menjadi salah satu ummahatul mukminin, ahlu bait Rasulullah n. Mu’awiyah pun menjadi saudara ipar Nabi n dan mendapat julukan “Khal al-Mukminin”, paman kaum mukminin.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa al-Imam Ahmad bin Hanbal t (wafat 241 H) berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum mukminin. Demikian pula, Ibnu Umar adalah paman kaum mukminin.” (as-Sunnah, al-Khallal, 2/433)
Seseorang bertanya kepada al-Hakam bin Hisyam al-Kufi, “Apa pendapatmu tentang Mu’awiyah?”
Ia berkata, “Dia adalah paman seluruh kaum mukminin.” Al-‘Ijli meriwayatkan atsar ini dalam ats-Tsiqat (1/314)—dan Ibnu Asakir (15/88) meriwayatkan melalui jalan beliau dengan sanad yang sahih.

Mu’awiyah z Adalah Sahabat Rasulullah n Berdasarkan Ijma’
Telah menjadi ijma’ ulama Ahlus Sunnah dan seluruh kaum muslimin bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan z termasuk sahabat Rasulullah n. Artinya, ulama bersepakat bahwa beliau adalah seorang yang berjumpa dengan Nabi n, beriman kepada beliau, dan meninggal di atas keislaman.2
Di antara bukti kesepakatan tersebut, seluruh ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menerima riwayat hadits Mu’awiyah z dari Rasulullah n.
Bukti lain, al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dalam ash-Shahihain. Sementara itu, kaum muslimin bersepakat bahwa semua hadits dalam dua kitab ini adalah sahih. Dengan demikian, umat Islam bersepakat bahwa Mu’awiyah z adalah seorang sahabat, yang riwayatnya diterima tanpa perselisihan.
Bukti lain atas kesepakatan ini, kita mendapatkan ulama ahlul hadits, ulama sirah (sejarah), penulis kitab-kitab thabaqat (biografi para ulama berdasarkan tahun), biografi, dan kitab-kitab hadits, memasukkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dalam thabaqat (level)sahabat Rasulullah n.
Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini selain Rafidhah. Mereka justru memasukkan Mu’awiyah z dalam deretan orang-orang kafir, termasuk pula ayahnya, Abu Sufyan z. Sebaliknya, Abu Thalib yang mati dalam keadaan kafir sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat-riwayat sahih dan mu’tabar malah diangkat tinggi-tinggi, bahkan dikatakan sebagai mukmin sejati.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t berkata, “Aku telah membaca sebuah kitab hadits dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Di dalamnya termuat banyak hadits lemah seputar masuk Islamnya Abu Thalib. Namun, tidak ada satu pun yang sahih, wa billahit taufiq. Aku telah meringkasnya dalam kitab al-Ishabah pada biografi Abu Thalib.” (Fathul Bari 7/234)
Kesepakatan Ahlus Sunnah bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c termasuk sahabat Rasulullah n adalah sisi terpenting dalam menepis segala syubhat yang berusaha menjatuhkan sahabat yang mulia ini. Sebab, semua dalil tentang keutamaan sahabat Rasulullah n, maka Mu’awiyah z masuk ke dalamnya menurut kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Demikian pula semua dalil tentang larangan mencela sahabat Rasulullah n, maka termasuk pula di dalamnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan z.
Sahabat Rasulullah n tanpa kecuali adalah manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah l berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Tidak diragukan bahwa ayat ini pertama kali ditujukan kepada para sahabat Rasulullah n. Allah l mengabarkan bahwa mereka adalah umat terbaik.
Di samping itu, Rasulullah n juga memberikan rekomendasi dalam sabda beliau n,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2652 dari Abdullah bin Mas’ud z)
Kemuliaan sahabat akan terus kokoh bersama kekokohan al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’. Walaupun para pendengki terus berusaha merobek lembaran keutamaan itu, tetapi perjuangan sahabat bersama Nabi n akan selalu dikenang sepanjang masa. Pahala akan terus mengalir kepada mereka, generasi yang gigih memperjuangkan syariat Allah l dan membelanya. Nama mereka akan selalu harum.
Adapun pihak yang membenci mereka, demi Allah, akan tenggelam dalam kehinaan akibat kebencian mereka kepada generasi yang diridhai oleh Allah l ini.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia,3 adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Tunas itu pun menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….” (al-Fath: 29)

Seluruh Sahabat ‘Adil (Tepercaya) dan Dijanjikan al-Jannah
Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwasanya seluruh sahabat Nabi n, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, adalah orang tepercaya dan mulia. Mereka adalah kaum yang diakui ‘adalah (kesalehan dan ketsiqahan)nya.
Seluruh sahabat Nabi n mendapatkan janji al-Jannah, baik yang beriman sebelum Fathu Makkah atau sesudahnya. Hal ini sebagaimana firman Allah l,
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka semua (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hadid: 10)
“Al-Khusna” dalam firman Allah l adalah al-Jannah (surga), sebagaimana penafsiran Mujahid bin Jabr al-Makki dan Qatadah rahimahumallah. Dengan demikian, makna ayat di atas adalah seperti apa yang diterangkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari t, “Mereka semua yang menafkahkan hartanya sebelum Fathu Makkah dan berjihad, serta yang menafkahkan hartanya sesudahnya dan berperang, Allah l menjanjikan mereka dengan al-jannah.” (Tafsir ath-Thabari)
Al-Khathib al-Baghdadi t dalam kitabnya, al-Kifayah, setelah menyebutkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah tentang kemuliaan seluruh sahabat dan ‘adalah mereka, beliau berkata, “Ini adalah mazhab seluruh ulama dan fuqaha yang diakui ucapannya.” (al-Kifayah, hlm. 67)
Kesepakatan ulama tentang ‘adalah sahabat—tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c—dinukil oleh banyak ahli ilmu. Di antara mereka adalah al-Juwaini, al-Ghazali, Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, Ibnu Katsir, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, as-Sakhawi, al-Alusi, dan lainnya.
Sisi ini sesungguhnya cukup untuk membantah seluruh syubhat yang dilontarkan terhadap beliau. Namun, karena musuh-musuh Allah l terus berusaha menyebarkan kebencian kepada sahabat Mu’awiyah z di tengah-tengah umat dengan berbagai syubhat, melalui berbagai media, maka dengan memohon pertolongan Allah l, kita akan melihat beberapa sisi kemuliaan lain dari sosok Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.

Mu’awiyah z, Tirai bagi Para Sahabat Rasulullah n
Mu’awiyah z menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ulama ahlul hadits adalah tirai yang melindungi kehormatan seluruh sahabat Nabi n. Sikap seseorang terhadap Mu’awiyah adalah barometer yang menunjukkan sikapnya terhadap para sahabat lainnya. Abu Taubah ar-Rabi’ bin Nafi’ t berkata,
مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سِتْرَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n فَإِذَا كَشَفَ الرَّجُلُ السِّتْرَ اجْتَرَأَ عَلَى مَا وَرَاءَهُ
“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa yang berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang terhadap yang berada di baliknya.” (Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi t dalam Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu Asakir t dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
Benarlah kata Abu Taubah. Siapa yang berani membicarakan sahabat Mu’awiyah z dengan kejelekan niscaya ia akan lancang membicarakan sahabat lainnya karena tirai telah tersingkap, sebagaimana tirai rumah yang apabila terbuka akan terlihatlah apa yang ada di baliknya.
Oleh karena itu, al-Imam Abdullah ibnul Mubarak al-Marwazi t berkata,
مُعَاوِيَةُ عِنْدَنَا مِحْنَةٌ، فَمَنْ رَأَيْنَاهُ يَنْظُرُ إِلَى مُعَاوِيَةَ شَرًّا اتَّهَمْنَاهُ عَلَى الْقَوْمِ، أَعْنِي عَلَى أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ n
“Mu’awiyah di sisi kami (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) adalah ujian (sebagai barometer). Siapa yang kita lihat ia memandang Mu’awiyah dengan pandangan jelek, kita berprasangka bahwa orang ini juga berpandangan jelek kepada seluruh sahabat Muhammad n.” (Tarikh Dimasyq 59/209)
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah memberikan komentar atas dua ucapan di atas ketika membantah kesesatan seorang Syiah Rafidhah, Hasan al-Maliki, “Benar perkataan Abu Taubah dan Ibnul Mubarak—semoga Allah l merahmati keduanya. Sesungguhnya ketika al-Maliki berani membicarakan Mu’awiyah dengan kejelekan, mencaci, dan mengeluarkan beliau dari barisan sahabat, ia pun lancang kepada sahabat lainnya dan mengatakan bahwa semua yang menyertai Rasulullah n sesudah perjanjian Hudaibiyah bukan sahabat. Lebih parah lagi, ia mencela kekhilafahan Abu Bakr, Umar, dan Utsman, serta meragukan kekhilafahan mereka. Tidak diragukan bahwa penyelewengan akan membuahkan berpalingnya hati, sebagaimana firman Allah l,
‘Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.’ (ash-Shaff: 5).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar fi Raddi Abathil Hasan al-Maliki hlm. 99)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Seseorang tidak boleh melaknat dan mencerca salah seorang pun dari para sahabat Nabi n. Barang siapa melaknat salah seorang sahabat Nabi n, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-Ash, dan yang semisal keduanya, atau yang lebih afdal dari keduanya, seperti Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, dan lainnya, atau yang lebih utama dari mereka, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, atau Aisyah Ummul Mukminin, atau sahabat-sahabat Nabi n lain g, sungguh orang ini berhak mendapatkan hukuman berat dengan kesepakatan ulama-ulama Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam bentuk apa hukuman berat itu, dibunuh atau yang lebih ringan.”4

Mu’awiyah z, Penulis Wahyu
Di antara keutamaan Mu’awiyah z adalah mendapat kepercayaan dari Rasulullah n mencatat wahyu Allah l. Ini adalah sebuat amanat yang besar dan keutamaan yang sangat agung. Keutamaan tersebut dapat dilihat dalam banyak riwayat yang sahih, di antaranya riwayat al-Imam Muslim dalam Shahih-nya bab “Fadha’il Abi Sufyan bin Harb” no. 2501.
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata bahwa Mu’awiyah z adalah salah seorang penulis wahyu Rasulullah n. Tulisannya sangat indah. Ia fasih pula berbicara, lagi lembut, dan sangat berwibawa.” (al-Ishabah 9/232)
Pembaca rahimakumullah, mencela Mu’awiyah z pada hakikatnya adalah mencela Rasulullah n yang telah memercayainya menulis wahyu. Seakan-akan ia berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau berikan tugas paling penting ini kepada orang yang tidak pantas dan bukan ahlinya?” Bahkan, ini adalah celaan kepada Allah l, seakan-akan ia berkata, “Mengapa Allah l membiarkan Nabi-Nya memberikan tugas menulis wahyu kepada orang yang tidak dipercaya?”
Sungguh, tidaklah Rasulullah n memberikan kepercayaan mencatat wahyu Allahlmelainkan kepada orang yang telah beliau ridhai. Tidaklah yang beliau lakukan itu melainkan berdasar wahyu Allah l.
Posisi Mu’awiyah yang sangat strategis dan sangat mulia sebagai salah seorang pencatat wahyu Allahl membuat musuh-musuh Islam semakin getol berusaha mencoreng kemuliaan Mu’awiyah. Tidak lain tujuan akhirnya adalah menanamkan keraguan terhadap al-Qur’an karena ternyata salah satu penulisnya adalah Mu’awiyah z. Abu Zur’ah ar-Razi t berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقَرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَن يَجْرَحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسَّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةٌ
“Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah n (siapa pun sahabat itu), ketahuilah sesungguhnya dia adalah zindiq. Hal itu karena Rasulullah n adalah haq di sisi kita, demikian pula al-Qur’an adalah haq. Sementara itu, yang menyampaikan al-Qur’an dan sunnah tidak lain adalah sahabat-sahabat Rasulullah. (Sungguh) yang mereka kehendaki adalah mencela saksi-saksi kita (yakni para sahabat) demi menolak al-Qur’an dan as-Sunnah. Merekalah yang lebih pantas dicela. Mereka adalah kaum zindiq.”5

Mu’awiyah z, Kepercayaan Generasi Terbaik
Di antara keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, beliau mendapat kepercayaan para sahabat setelah Rasulullah n memberikan kepercayaan kepadanya untuk sebuah tugas yang sangat agung, mencatat wahyu Allah l.
Di masa Abu Bakr ash-Shiddiq z, Mu’awiyah diangkat sebagai komandan perang, di hadapan para pembesar sahabat, as-sabiqunal awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Pada masa Umar bin al-Khaththab z, beliau dipercaya sebagai amir (gubernur) Syam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Ketika Yazid bin Abi Sufyan meninggal di masa kekhilafahan Umar, beliau (Umar) mengangkat saudaranya—Mu’awiyah bin Abi Sufyan—(sebagai amir). Sesungguhnya Umar bin al-Khaththab termasuk manusia yang paling kuat firasatnya, paling mengerti keadaan manusia, dan paling teguh berpegang kepada al-haq.”6
Demikian pula di masa Utsman bin Affan z, beliau memberikan kepercayaan kepada Mu’awiyah z menjadi amir (gubernur) wilayah Syam.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi )wafat 543 H( berkata, “… Cobalah Anda semua perhatikan rangkaian ini. Alangkah kuatnya ikatan beliau. Tidak ada seorang pun yang dikaruniai anugerah seperti ini setelah mereka.” (al-‘Awashim min al-Qawasim, hlm. 81)
Genap empat puluh tahun Mu’awiyah memimpin dan mendapatkan kepercayaan generasi terbaik. Dua puluh tahun sebagai gubernur di Syam dan dua puluh tahun memegang kekhilafahan. Pada masa kekhilafahan beliau, tidak ada sedikit pun masalah yang berarti. Hal ini menunjukkan keutamaan beliau dan kearifan beliau dalam memimpin kaum muslimin.

Mu’awiyah z, Mujahid dan Tokoh Besar Futuhat Islamiyah (Perluasan Wilayah Islam)
Ini adalah keutamaan lain dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan z yang lembut, namun tegas dan kokoh dalam memegang al-haq. Tidak ada yang melupakan atau mengingkari keutamaan ini selain orang yang jahil, tidak mengerti tarikh Islam, atau hatinya telah dipenuhi kedengkian kepada sahabat Rasulullah n.
Wilayah Islam sepeninggal al-Khulafa ar-Rasyidin sangat luas, sementara itu rongrongan musuh-musuh Allah l sangat kuat, baik dari dalam maupun dari luar. Kita tidak bisa melupakan fitnah besar yang berakibat syahidnya Utsman bin Affan z dan Ali bin Abi Thalib z. Bermunculan pula pada masa itu firqah-firqah sesat, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan lainnya.
Tugas besar menanti di hadapan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
1. Beliau harus menstabilkan kondisi daulah yang diliputi oleh fitnah;
2. Beliau harus mempertahankan wilayah Islam dari rongrongan musuh;
3. Melanjutkan risalah jihad, menyebarkan dan mendakwahkan Islam, memperluas wilayah Islam, mengeluarkan manusia dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid.
Semua itu—walhamdulillah— beliau tunaikan dengan baik. Fitnah-fitnah teredam, rongrongan musuh Islam dihentikan. Wilayah Islam pun meluas bersamaan dengan meluasnya dakwah tauhid.
Sebagai seorang ahli strategi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan c segera merapikan pasukan perang. Beliau membagi pasukan menjadi dua. Pasukan yang berperang di musim dingin dan pasukan yang berperang di musim panas. Dengan demikian, perluasan wilayah pun berlanjut dan berkesinambungan.
Negeri Persia berusaha melepaskan dirinya dari jizyah yang harus mereka bayar. Mereka mulai membuat fitnah pada masa pemerintahan Mu’awiyah z dalam rangka memerangi hukum Islam. Pasukan Mu’awiyah z pun harus menghadapi ancaman ini dan memadamkannya. Perjalanan perjuangan perluasan negeri dilanjutkan ke arah timur. Sungai Jaihan (=Amu Darya, salah satu sungai terpanjang di Asia Tengah) diseberangi sehingga terbukalah wilayah Bukhara, Samarkand, dan Turmudz.
Pada waktu yang bersamaan, kerajaan Romawi juga melakukan rangkaian penyerangan untuk mempersempit wilayah Islam dengan cara menyerang wilayah barat laut. Oleh karena itu, Mu’awiyah z mempersiapkan armada laut yang berkekuatan 1.700 kapal. Angkatan laut yang besar ini, dengan izin Allah l, berhasil menaklukkan wilayah Siprus, Rhodes (salah satu pulau di Yunani), dan kepulauan lainnya yang masuk dalam wilayah kekaisaran Romawi.
Pembaca, sejenak kita melihat ke belakang dan membuka lembaran sejarah pembentukan pasukan laut. Dahulu, tidak pernah terbayang bahwa para sahabat akan berperang di tengah lautan. Namun, sabda Rasulullah n menyingkap tirai gaib bahwa umat ini akan berperang di atas lautan.
Jasa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dalam pembentukan angkatan laut tidak bisa dilupakan dalam tarikh Islam. Pembentukan angkatan laut pertama terwujud di zaman Utsman bin Affan z. Saat itu, Mu’awiyah menjabat gubernur Syam dan diberi kepercayaan penuh memimpin armada laut. Bahkan, Utsman bin Affan z memerintah Mu’awiyah untuk membawa serta istrinya—Fakhitah bintu Qaradzah—berperang di atas laut untuk membuktikan keberanian, kesiapan, dan tanggung jawab Mu’awiyah membawa pasukan kaum muslimin.
Keutamaan Mu’awiyah z ini tampak dalam hadits Rasulullah n ketika menyebutkan umatnya akan berperang di laut. Anas bin Malik z berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللهِ n يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللهِ n ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ، مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ –أَوْ: مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ؛ يَشُكُّ أَيَّهُمَا قَالَ- قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ. فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللهِ-كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى-قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ. قَالَ: أَنْتِ مِنَ الْأَوَّلِينَ. فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنَ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ
Rasulullah n pernah menemui Ummu Haram binti Milhan7, lalu beliau disuguhi makanan olehnya. Saat itu, Ummu Haram adalah istri Ubadah bin ash-Shamit z. Suatu hari, Rasulullah datang menemuinya lalu disuguhi makanan, kemudian wanita itu duduk sambil mencari kutu dari kepala beliau hingga tertidurlah Rasulullah n. Tiba-tiba beliau terbangun dan tersenyum.
Ummu Haram bertanya, “Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai Rasulullah?”
Rasulullah n menjawab, “Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah l dengan menaiki kapal di tengah lautan, raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan—atau seperti raja-raja yang duduk di atas dipan-dipan.”—Perawi ragu antara keduanya.
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.”
Lalu beliau mendoakannya dan segera meletakkan kepalanya lagi lalu tertidur kembali. Ketika terbangun, beliau tersenyum lagi.
Ummu Haram berkata, “Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang membuat engkau tersenyum, wahai Rasulullah?’
Rasulullah n menjawab, ‘Beberapa orang dari umatku diperlihatkan kepadaku mereka sedang berperang di jalan Allah (dst, seperti yang beliau sabdakan sebelumnya).’
Ummu Haram berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka’.”
Rasulullah n bersabda, “Engkau termasuk orang-orang yang pertama.”
Kemudian berlayarlah Ummu Haram pada masa Mu’awiyah. Namun, ketika hendak keluar dari kapal, ia terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga wafat. (Shahih Muslim no. 3535)
Al-Bukhari meriwatkan dalam Shahih-nya (6/102 no. 2924 bersama dengan Fathul Bari) dari Ummu Haram al-Anshariyah x, ia mendengar Rasulullah n bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. قَالَتْ أُمَّ حَرَامٍ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا فِيْهِمْ؟ قاَلَ: أَنْتِ فِيهِمْ. ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ n: أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ. فَقُلْتُ: أَنَا فِيْهِمْ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ.
Pasukan perang pertama dari umatku yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka (yakni mereka melakukan amalan besar yang mengantarkan kepada al-Jannah).
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bersama dengan mereka (pasukan pertama yang berperang di atas laut)?”
Rasulullah bersabda, “Engkau termasuk mereka.” Beliau bersabda kembali, “Pasukan perang pertama umatku yang memerangi kota Kaisar (yakni Konstantinopel), mereka diampuni dosanya.”
Aku berkata, “Apakah aku bersama mereka, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Tidak.”
Muhallab bin Abi Shufrah t (wafat 435 H) berkata, “Hadits ini mengandung dalil tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang di atas laut. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan keutamaan putranya, Yazid, karena dialah yang pertama kali memerangi kota Kaisar.” (Dinukilkan oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari)
Az-Zubair bin Abu Bakr t berkata, “Mu’awiyah membelah lautan, berperang bersama kaum muslimin di zaman kekhilafahan Utsman menuju Siprus. Ummu Haram, istri Ubadah, ikut dalam perang tersebut. Ketika Ummu Haram mengendarai bagalnya keluar dari kapal, ia terjatuh dan meninggal—seperti kabar Rasulullah n. Ibnul Kalbi t berkata, ‘Perang yang dipimpin oleh Mu’awiyah tersebut terjadi pada tahun 28 H’.” (Ibnu Baththal 5/9)
Di zaman pemerintahan Mu’awiyah, angkatan laut diperbesar sehingga semakin kokohlah kekuatan muslimin dan semakin tangguh mempertahankan wilayah dan usaha futuhat, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Menceritakan tarikh perjuangan beliau membutuhkan lembaran yang banyak untuk menunaikan haknya. Namun, yang sedikit ini semoga mengingatkan hati yang lalai akan jasa generasi sahabat g secara umum, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c secara khusus.
Wahai kaum muslimin, tidakkah kita menimbang betapa buruknya mulut-mulut pendusta yang mencerca sahabat Mu’awiyah z? Apa jasa mereka terhadap Islam? Demi Allah, andil mereka hanyalah ucapan-ucapan kotor yang membantu Iblis dan balatentaranya untuk meruntuhkan Islam. Para pencela Mu’awiyah sesungguhnya adalah kaki tangan Iblis.
Lihatlah, wahai kaum muslimin, betapa besar jasa Mu’awiyah z. Lihat pula perjuangannya memimpin kaum muslimin puluhan tahun, memadamkan api-api fitnah, mempertahankan wilayah Islam, dan menegakkan jihad mengajak manusia memeluk agama Allah l. Keamanan pun terwujud, darah-darah kaum muslimin terjaga, ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah tersebar. Namun, hanya manusia berakal sajalah yang bisa menimbang, sedangkan manusia semacam Rafidhah, hati mereka memang sudah dipenuhi kebencian kepada seluruh sahabat, istri-istri Rasulullah n, dan agama Islam yang mulia. Allahul musta’an.

Mu’awiyah, Periwayat Hadits-Hadits Rasulullah n
Di tengah kesibukan memimpin daulah, Mu’awiyah z tidak lupa menunaikan tugas menyampaikan ilmu, meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah n. Beliau pun memperoleh keutamaan doa Rasulullah n dalam sebuah hadits mutawatir,
نَضَّرَ اللهُ عَبْدَا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا فَبَلَغَهَا مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku kemudian ia memahami dan menghafalnya, lalu ia sampaikan kepada orang yang belum mendengarnya.”
Tidak ada kitab-kitab hadits melainkan kita dapatkan sebagian besar kitab tersebut memuat hadits-hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.8
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits-hadits Mu’awiyah z ada dalam Shahihain dan selainnya. Al-Khazraji dalam al-Khulashah berkata, ‘Mu’awiyah z dalam Kutub as-Sittah memiliki 130 hadits, empat di antaranya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari meriwayatkan empat hadits dari Mu’awiyah secara tersendiri, sedangkan Muslim lima hadits.’ Dalam Musnad al-Imam Ahmad, hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah mencapai seratus sebelas hadits, mulai no. 16828 hingga no. 16938 (dan satu hadits tambahan riwayat Abdullah bin al-Imam Ahmad, yakni no. 16939, -pen.).” (al-Intishar lish Shahabatil Akhyar hlm. 99)
Di antara hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah adalah sabda Rasulullah n,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, Allah akan memahamkan dia dalam hal agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga meriwayatkan hadits,
أَلَا، إِنَّ رَسُولَ اللهِ n قَامَ فِينَا فَقَالَ: أَلَا، إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah n pernah berdiri di hadapan kita dan bersabda, ‘Ketahuilah sungguh kaum sebelum kalian dari ahlul kitab berpecah menjadi 72 golongan. Sungguh, umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua golongan dalam neraka dan satu berada di jannah. Mereka (yang satu) adalah al-Jamaah’.” (HR. Abu Dawud no. 3981)
Hadits-hadits Mu’awiyah diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi’in. Semua ini tentu menunjukkan keutamaan beliau dari sisi periwayatan hadits.
Banyak sahabat mengambil hadits dari Mu’awiyah z, di antaranya Usaid bin Zhuhair, Malik bin Yakhamir, Mu’awiyah bin Hudaij, an-Nu’man bin Basyir, Wail bin Hujr, Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, Abu ad-Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Sa’id al-Khudri, dan Abul Ghadiyah al-Asy’ari, semoga Allah l meridhai mereka semua.
Adapun tabi’in yang menjadi murid beliau adalah Ibrahim bin Abdullah bin Qarizh, Ishaq bin Yasar, Aslam maula Umar, Aifa’ bin Abdin al-Kala’i, Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, Ayyub bin Abdillah bin Yasar, Ayyub bin Maisarah bin Halbas, Bisyr Abu Qais al-Qanasrini, Tsabit bin Sa’d ath-Tha’i, Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid al-Bashri, Jubair bin Nufair al-Hadhrami, al-Hasan al-Bashri, Hakim bin Jabir, Humran bin Aban maula ‘Utsman bin ‘Affan, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, Hanzhalah bin Khuwailid, Abu Qabil Huyai bin Hani’, Khalid bin ‘Abdilah bin Rabah, dan sekumpulan lain yang cukup banyak jumlahnya.
Dari sini, kita juga mengerti maksud buruk yang terselip di balik celaan munafik kepada sahabat pada umumnya dan perawi hadits secara khusus, seperti Abu Hurairah dan Mu’awiyah, yaitu untuk menjatuhkan hadits-hadits Rasulullah n sebagai sumber hukum dan sendi-sendi Islam.

Beberapa Riwayat Marfu’ dan Mauquf Tentang Keutamaan Mu’awiyah
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih, Nabi n bersabda kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan z,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah sebagai orang yang memberi petunjuk dan mendapat hidayah serta jadikanlah manusia mendapat hidayah melalui dirinya.” (HR. at-Tirmidzi, 5/687, beliau berkata tentang hadits ini, “Hadits hasan gharib.”)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (4/615). Beliau berkata, “Para perawinya seluruhnya tsiqat (tepercaya) yang termasuk perawi Shahih Muslim. Selayaknya at-Tirmidzi menyatakannya sahih (tidak cukup hanya menyatakan hasan, -pen.).”
Diriwayatkan pula, Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c:
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab, berhitung, dan lindungilah ia dari azab.” (HR. Ahmad no. 4/127 dan no. 28/383, no. 1752, cetakan ar-Risalah, al-Bazzar [no. 977, Kasyful Asytar], Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, dari Irbadh bin Sariyah z. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3327)
Riwayat lain mengenai keutamaan Mu’awiyah adalah hadits dari Ummu Haram z, Rasulullah n bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا فِيهِمْ؟ قَالَ: أَنْتِ فِيهِمْ
“Pasukan pertama yang berperang di atas lautan, sungguh telah wajib atas mereka (yakni mereka melakukan amalan yang memasukkan mereka ke dalam al-Jannah).” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk mereka?” Kata Rasul n, “Ya, kamu termasuk….” (HR. al-Bukhari no. 2707, Ma Qila Fi Qitali ar-Rum)
Al-Muhallab t berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah z karena beliaulah yang pertama kali memerangi Romawi (di atas lautan).” (Syarah Ibnu Baththal 5/107)
Adalah Ali bin Abi Thalib z sekembalinya beliau dari Shiffin berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ، لاَ تَكْرَهُوا إِمَارَةَ مُعَاوِيَةَ، فَإِنَّكُمْ لَوْ فَقَدْتُمُوهُ رَأَيْتُمُ الرُّؤُوسَ تَنْدُرُ عَنْ كَوَاهِلِهَا كَأَنَّهَا الْحَنْظَلُ.
“Wahai manusia, jangan sekali-kali kalian membenci kepemimpinan Mu’awiyah. Sungguh, jika kalian kehilangan Mu’awiyah niscaya kalian akan melihat kepala-kepala manusia berguguran dari badan-badan mereka seperti buah hanzhal.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/125)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas c, putra paman Rasulullah n dan ulama umat ini, “Wahai Ibnu Abbas, adakah engkau (berkomentar) tentang Amirul Mukminin Mu’awiyah, karena ia tidaklah melakukan witir melainkan hanya satu rakaat?”
Ibnu Abbas c berkata,
دَعْهُ، فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ رَسُولَ اللهِ n قَالَ: أَصَابَ إِنَّهُ فَقِيهٌ
“Tinggalkan (komentarmu kepada) Mu’awiyah, sungguh ia seorang (sahabat) yang telah menyertai Rasulullah n.” Kemudian berkata, “Mu’awiyah benar, ia seorang yang faqih.” (“Kitab Fadha’il Shahabah”, bab “Penyebutan Mu’awiyah z”, Fathul Bari [7/103] no. 3765)

Atsar Salaf dan Ulama tentang Keutamaan Mu’awiyah
Mujahid bin Jabr al-Makki t, salah seorang ulama tabi’in dan tokoh tafsir berkata,
لَوْ رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ لَقُلْتُمْ: هَذَا الْمَهْدِيُّ.
“Seandainya kalian melihat Mu’awiyah niscaya kalian akan berkata, ‘Dia adalah al-Mahdi’.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal t dalam as-Sunnah [1/438] dan disebutkan oleh Ibnu Katsir t dalam al-Bidayah wan Nihayah [8/137])
Al-Khathib al-Baghdadi t meriwayatkan dalam Tarikh-nya dari Rabah bin al-Jarrah al-Maushili, ia berkata, “Aku mendengar seorang bertanya kepada al-Mu’afa bin ‘Imran, ‘Wahai Abu Mas’ud, bagaimana perbandingan Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan?’
Marahlah al-Mu’afa seraya berkata, ‘Tidak seorang pun boleh dikiaskan dengan sahabat Rasulullah n. Mu’awiyah seorang sahabat, beliau juga ipar Rasulullah n, sekretaris dan kepercayaan Rasul atas wahyu yang diturunkan oleh Allah l kepada beliau. Sungguh Rasulullah n telah bersabda, -Biarkan sahabat-sahabatku dan kerabatku (jangan kalian cela mereka). Siapa mencaci mereka, ia mendapatkan laknat Allah l, para malaikat, dan manusia-’.” (Tarikh Baghdad 1/209, asy-Syariah, al-Ajurri t 5/167, Syarh Ushul I’tiqad, al-Lalikai t. Sanad hadits ini sahih sampai kepada al-Mu’afa t)
Ketika al-Mu’afa ditanya, “Mu’awiyah yang lebih mulia atau Umar bin Abdul ‘Aziz?”
Al-Mu’afa berkata, “Sungguh Mu’awiyah lebih mulia enam ratus kali daripada Umar bin Abdul ‘Aziz.” (as-Sunnah, al-Khallal, 1/437)
Di masa Daulah Abbasiyah, sebagian manusia menjadikan pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz t sebagai permisalan yang paling tinggi dalam hal keadilan. Kepada mereka, al-Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy t berkata, “(Jika kalian kagum dengan keadilan Umar bin Abdul ‘Aziz –pen.), lantas bagaimana jika kalian berjumpa dengan Mu’awiyah (tentu kalian lebih kagum)?” Mereka berkata, “Apakah dari sisi kelembutannya?” Al-A’masy berkata, “Bukan hanya itu, demi Allah, bahkan dalam hal keadilannya.” (Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah [1/437] dan Minhajus Sunnah [3/185])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Jika masa kepemimpinan Mu’awiyah dibandingkan dengan masa sesudahnya, tidak ada dalam sejarah penguasa Islam yang lebih baik dari Mu’awiyah z. Tidak pula ada masyarakat dalam sejarah kerajaan Islam, yang lebih baik daripada masyarakat di zaman Mu’awiyah….” (Minhajus Sunnah 3/185)
Keutamaan Mu’awiyah adalah kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ibnu Taimiyah t berkata, “Para ulama bersepakat bahwa Mu’awiyah adalah raja (penguasa) yang paling mulia dari umat ini, karena empat sahabat sebelumnya adalah khilafah nubuwah. Adapun beliau adalah raja pertama. Adalah pemerintahan beliau kerajaan dan rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Masyarakat ketika itu (termasuk di antaranya para sahabat, demikian pula tabi’in –pen.) seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H…. Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga tahun wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan, kalimat Allah l ditinggikan, harta rampasan perang terus mengalir kepada baitul mal, dan kaum muslimin bersama beliau berada dalam kelapangan dan keadilan. (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)
Atsar dari salaf dan ucapan para ulama tentang kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c sangatlah banyak. Kiranya cukup atsar di atas sebagai isyarat bagi orang yang memiliki hati yang bersih dan akal sehat untuk segera memuliakan seluruh sahabat tanpa kecuali, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan z.

Tulisan-Tulisan Pembelaan terhadap Mu’awiyah
Pembelaan para ulama terhadap kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c juga menunjukkan keutamaan beliau. Sangat banyak ulama Ahlus Sunnah yang menulis baik secara umum maupun khusus untuk membela kemuliaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Di antara tulisan yang bersifat umum adalah al-Bidayah an-Nihayah karya Ibnu Katsir t, al-‘Awashim minal Qawashim karya Abu Bakr Ibnul Arabi t, dan Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t.
Adapun tulisan-tulisan yang secara khusus ditulis untuk membersihkan nama baik Mu’awiyah z dan membela kehormatan beliau, di antaranya:
1. Akhbar Mu’awiyah dan Hikamu Mu’awiyah, ditulis oleh Ibnu Abid Dunya t (wafat 281 H)
2. Juz fi Fadha’il Mu’awiyah, karya Muhammad as-Saqathi t (wafat 604 H)
3. Tanzih Khal al-Mukminin dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Hanbali t (wafat 458 H)
4. Syarhu ‘Aqdi Ahlil Iman fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Abu Ya’la al-Ahwazi t (wafat 446 H)
5. Su’al fi Mu’awiyah bin Abi Sufyan karya Ibnu Taimiyah t (wafat 728 H)
6. Tathhirul Jinan wal Lisan karya Ibnu Hajar al-Haitami t (wafat 973 H), dll.
Semoga Allah l memberi taufik kepada kita untuk mencintai seluruh sahabat Rasulullah n, senantiasa mendoakan mereka, serta diselamatkan dari kedengkian dan hasad, sebagaimana firman Allah l,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)

Catatan Kaki:

1 Mu’awiyah bin Abi Sufyan z meninggal di bulan Rajab tahun 60 H dalam usia mendekati delapan puluh tahun, setelah dua puluh tahun menjadi Amirul Mukminin dengan penuh keadilan, kearifan, dan kelembutan.

2 Inilah definisi sahabat, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Ishabah (1/7—8).

3 Yakni para sahabat.

4 Dinukil oleh asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam tulisan beliau Min Aqwalil Munshifin fish Shahabi al-Khalifah Mu’awiyah hlm. 21.

5 Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Kifayah (hlm. 98) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (38/32).
6 Makna ucapan ini, apabila Mu’awiyah z bukan orang yang mulia dan disepakati kemuliaannya, tidak mungkin seorang seperti Umar bin al-Khaththab z akan memberikan kepercayaan kepadanya.

7 Ibnul Jauzi menukil dari Yahya bin Ibrahim, Rasulullah n membolehkan Ummu Haram mencari kutu di kepala beliau n karena dia masih memiliki hubungan mahram dari arah bibi-bibi beliau n. Karena, ibu Abdul Muththalib (kakek Nabi n) berasal dari Bani Najjar (kabilah orang-orang Anshar). Ini adalah salah satu jawaban terhadap masalah yang mungkin dianggap janggal ini. Di samping itu, masih ada beberapa jawaban lain dari para ulama, hanya saja perlu dikaji lebih lanjut. (lihat Kasyful Musykil min Hadits ash-Shahihain, -red.)

8 Telah dimaklumi, umat bersepakat bahwa Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab paling sahih di muka bumi setelah al-Qur’an. Artinya, Mu’awiyah z disepakati oleh umat sebagai sahabat yang tepercaya penukilannya dari Rasulullah n karena hadits-hadits beliau diriwayatkan dalam Shahihain.

http://asysyariah.com/keutamaan-muawiyah.html

 

Muawwiyah bin Abi Sofyan (20 SH – 60 H)

Mu’awwiyah bin Abu Sofyan bin Harb bin Umaiah Al Qurasyi Al Umawi adalah pendiri Daulat Umaiah di Suriah. Beliau lahir di Mekah dan sempat memusuhi Islam dan akhirnya memeluk Islam ketika penaklukan kota Mekah (8 H). Beliau sempat belajar baca tulis dan matematika, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya menjadi juru tulisnya. Beliau bertugas di Suriah di masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Beliau menentanag Ali dan berkonfrontasi dengan Ali dalam perang Shiffin (37 H/657 M) yang berakhir dengan sebuah arbitrase. Beliau dinobatkan menjadi khalifah (40-60 H/661-680 M) di mana ibu kota pemerintahan dia pindahkan ke Damaskus. Beliau termasuk tokoh penakluk ternama dalam sejarah Islam, di mana penaklukannya sampai ke daerah di Lautan Atlantik.

Dia meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak seratus enam puluh tiga hadits. Beberapa sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya antara lain : Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Darda’, Jarir aI-Bajali, Nu’man bin Basyir dan yang lain. Sedangkan dari kalangan tabiin antara lain : Sa’id bin al-­Musayyib, Hamid bin Abdur Rahman dan lain-lain.

Dia termasuk salah seorang yang memiliki kepintaran dan kesabaran. Banyak hadits yang menyatakan keutamaan pribadinya, namun dari hadits-hadits tersebut hanya sedikit yang bisa diterima.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan (dia mengatakan bahwa hadits ini hasan) dari Abdur Rahman bin Abi Umairah (seorang sahabat Rasulullah) dari Rasulullah bahwa dia bersabda kepada Mu’awiyah, “Ya Allah, jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk.”

Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari al-Mirbadh bin Sariyyah dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Ya Allah ajarilah Mu’awiyah al-Qur’an dan hisab serta lindungilah dia dari adzab.”

Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan Imam ath-Thabarani dalam kitabnya al-Kabir meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair dia berkata: Mu’awiyyah berkata : Sejak Rasulullah bersabda kepada saya. “Wahai Mu’awiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah!” saya selalu menginginkan jabatan kekhilafahan.

Mua’wiyyah adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi berkulit putih dan tampan serta karismatik. Suatu ketika Umar bin Khaththab melihat kepadanya dan berkata, “Dia adalah kaisar Arab.”

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib dia berkata, “Janganlah kalian membenci pemerintahan Mu’awiyah. Sebab andai kalian kehilangan dia, niscaya akan kalian lihat beberapa kepala lepas dari lehernya.”

Al-Maqbari berkata : “Kalian sangat kagum kepada kaisar Persia dan Romawi namun kalian tidak mempedulikan Mu’awiyah! Kesabarannya dijadikan sebuah pepatah. Bahkan Ibnu Abid Dunya dan Abu Bakar bin ‘Ashim mengarang buku khusus tentang kesabarannya.”

Ibnu ‘Aun berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Mu’awiyah: Demi Allah hendaknya kamu menegakkan hukum dengan lurus wahai Mu’awiyah. Jika tidak, maka kamilah yang akan meluruskan kamu!”

Mu’awiyah berkata, “Dengan apa kalian akan meluruskan kami?”

Dia menjawab, “Dengan pentungan kayu!”

Muawiyyah menjawab, “Jika begitu kami akan berlaku lurus.”

Qubaishah bin Jabir berkata : Saya menemani Mu’awiyah beberapa lama, ternyata dia adalah seorang yang sangat sabar. Tidak saya temui seorang pun yang sesabar dia, tidak ada orang yang lebih bisa berpura-pura bodoh darinya, sebagaimana tidak ada orang yang lebih hati-hati daripadanya.

Tatkala Abu Bakar mengutus pasukan ke Syam, dia dan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan berangkat ke sana. Tatkala Yazid meninggal dia ditugaskan untuk menggantikan saudaranya di Syam untuk menjadi gubernur. Umar mengokohkan apa yang ditetapkan Abu Bakar dan Utsman menetapkan apa yang ditetapkan oleh Umar. Utsman menjadikan Syam seluruhnya berada di bawah kekuasaannya. Dia menjadi gubernur di Syam selama dua puluh tahun dan menjadi khalifah juga selama dua puluh tahun.

Muawwiyah Bin Abu Sofyan adalah juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat turunnya wahyu.

Dan sungguh telah meriwayatkan Imam Muslim di dalam Sohihnya dari hadits Ikrimah bin Ammar, dari Abi Zamil Sammak bin Walid dari Ibnu Abbas bahwasanya Abu sofyan Berkata : “Wahai Rasulullah berikanlah tiga perkara kepadaku?” Rasulullah menjawab: “ya”. Beliau berkata : “perintahkanlah aku supaya memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu aku memerangi orang-orang Islam.” Rasulullah menjawab: “ya”, Beliau berkata lagi : “dan Muawiyah engkau jadikan sebagai penulis disisimu?” Rasulullah menjawab: “ya”.

Mu’awwiyah di Jamin masuk Surga

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan di dalam Sohihnya dari Kholid bin Ma’dan dan bahwasanya Umair bin Mas’ud telah menceritakan kepadanya bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pasukan pertama daripada kalangan umatku yang berperang di laut, telah dipastikan bagi mereka (tempat di syurga).”

Fakta sejarah mencatat bahawa armada laut yang pertama bagi umat Islam dipimpin oleh Muawiyah pada zaman pemerintahan Amirul Mukminin Usman ibn Affan Radhiallahu.

عَنْ ‏‏خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ ‏أَنَّ ‏عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ ‏حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى ‏عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ ،‏ ‏وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ ‏ ‏حِمْصَ ،‏ ‏وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ ،‏ ‏أُمُّ حَرَامٍ ،‏ ‏قَالَ ‏عُمَيْرٌ :‏ ‏فَحَدَّثَتْنَا ‏‏أُمُّ حَرَامٍ ‏‏أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏يَقُولُ :‏ ‏أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ ‏‏أَوْجَبُوا ،‏ ‏قَالَتْ ‏‏أُمُّ حَرَامٍ :‏ ‏قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ ، قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :‏ ‏أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ ‏‏قَيْصَرَ ‏‏مَغْفُورٌ لَهُمْ ، فَقُلْتُ : أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : لَا . رواه البخاري (2924) .

قال الحافظ ابن حجر في ” الفتح ” (6/120) : قَالَ الْمُهَلَّب : فِي هَذَا الْحَدِيثِ مَنْقَبَة لِمُعَاوِيَة لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَزَا الْبَحْرَ وَمَنْقَبَةٌ لِوَلَدِهِ يَزِيد لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَزَا مَدِينَةَ قَيْصَرَ .ا.هـ.

Mu’awwiyah adalah Orang yang Faqih

Pada zaman pemerintahan Umar bin khottob Radiallahu anhu pernah seorang mengadu kepada Ibn Abbas radhiallahu ‘anh bahwa Muawiyah melaksanakan solat witir dengan hanya satu rakaat. Ibn Abbas menjawab : “(Biarkan), sesungguhnya dia seorang yang faqih (faham agama).” [Shahih al-Bukhari – hadis no: 3765]

Muawwiyah adalah orang yang didoakan untuk mendapat hidayah

Dalam sebuah hadis yang dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendoakan Muawiyah : “Ya Allah! Jadikanlah beliau orang yang memimpin kepada hidayah dan berikanlah kepada beliau hidayah.” [Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (Maktabah al-Ma`arif, Riyadh, 1995), hadits no: 1969]

Pujian Para Sahabat Kepada Mu’awwiyah

 

  • Sahabat besar Saad bin Abi Waqqas radhiallahu ‘anhu berkata : “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih pandai memutuskan hukum selepas Sayyidina Utsman daripada tuan pintu ini (beliau maksudkan Mu’awiyah)”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 133)
     
  • Seorang lagi sahabat Qabishah bin Jabir berkata : “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih penyantun, lebih layak memerintah, lebih hebat, lebih lembut hati dan lebih luas tangan di dalam melakukan kebaikan daripada Mu’awiyah”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 135)
     
  • Abdullah bin Mubarak, seorang tabi’in terkenal pernah ditanya : “ Apa pendapat anda tentang Mua’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz, siapakah di antara mereka yang lebih utama?”. Mendengar pertanyaan itu Abdullah Ibnu al-Mubarak naik Pitam lalu berkata: “Kamu bertanya tentang perbandingan keutamaan antara mereka berdua. Demi Allah! Debu yang masuk ke dalam lubang hidung Mu’awiyah karena berjihad bersama-sama Rasulullah itu saja lebih baik dari Umar bin Abdul Aziz”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 139)

 

Pujian para Ulama kepada Mu’awwiyah

Imam Adz-Dzahabi berkata bahwa hadist-haidist riwayat Muawiyah berjumlah 163 hadist dalam Musnad Baqiyi (bin Makhlad). Al Ahwazi telah menyusun Musnad Muawiyah dalam satu jilid kitab. Hadisnya (Muawiyah) yang disepakati Bukhari-Muslim sebanyak 4 hadist, dan yang diriwatkan oleh Imam Bukhari sebanyak 4 hadist dan Imam Muslim sebanyak 5 hadist (Siyar A’lam Nubala 3/162)

Dari Irbadh bin Sariyah berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Ya Allah, ajarkanlah Muawiyah ilmu tulis dan hitung dan lindungilah dia dari siksa.” (Hasan Lighairihi Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1938, Ibnu Hibban 2278, Ahmad 4/127, dan Fadhail Ash-Shahihah 1748, Al-Bazzar 2723, Al Fai dalam Tarikh 2/345, Ath-Thabrani dalam Al Mu’jam 18/252/628)

Dari Abdur Rahman bin Abi Umairah Al-Muzanni, berkata Said dan dia termasuk sahabat Nabi dari Nabi bahwa beliau berdo’a untuk Muawiyah, ”Ya Allah, jadikanlah dia penunjuk dan yang memberi petunjuk, tunjukilah ia dan berilah manusia petunjuk karenanya.” (Hasan Shahih Diriwayatkan Bukhari dalam Tarikh 4/1/327, Tirmidzi 2/316, Ibnu Asakir 16/684-686, dan Adz-Dzahabi dalam Siyar 8/38)

Umar bin Khattab berkata tatkala mengangkatnya sebagai Gubernur Syam, ”Janganlah kalian menyebut Muawiyah kecuali dengan kebaikan”. (Al-Bidayah 8/125)

Ali bin Abi Thalib berkata sepulangnya dari perang Shiffin,” Wahai manusia, janganlah kalian membenci kepemimpinan Muawiyah, seandainya kalian kehilangan dia, niscaya kalian akan melihat kepala kepala bergelantungan dari badannya (banyak pembunuhan)”. (Al-Bidayah 8/134)

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, ”Saya tidak melihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam orang yang lebih pandai memimpin manusia daripada Muawiyah.”

Dikatakan padanya, ”Sekalipun Ayahmu?” katanya, ”Ayahku Umar lebih baik daripada Muawiyah, tetapi Muawiyah lebih pandai berpolitik darinya.” (As-Sunnah I/443 Al-Khallal, Siyar A’lam Nubala 3/152, Al-Bidayah 8/138)

Ibnu Abbas berkata, ”Saya tidak melihat seorang yang lebih arif tentang kenegaraan daripada Muawiyah” (Al-Bidayah 8/138) Beliau juga mensifati Muawiyah dengan “faqih” (Shahih Bukhari 3765)

Mujahid berkata, ”Seandainya kalian melihat Muawiyah, niscaya kalian akan mengatakan : Inilah Al Mahdi.” Ucapan senada juga dikatakan Qatadah (As-Sunnah I/438 Al-Khallal)

Zuhri berkata, ”Muawiyah bekerja dalam pemerintahan Umar bin Khattab bertahun-tahun tiada cela sedikit pun darinya.” (As-Sunnah I/444 Al-Khallal).

Suatu kali pernah diceritakan kepada A’masy tentang keadlian Muawiyah, maka dia berkata, ”Bagaimana kiranya seandainya kalian mendapati Muawiyah?” Mereka berkata, ”Wahai Abu Muhammad apakah dalam kelembutannya?” Dia menjawab, ”Tidak, demi Allah, bahkan dalam keadilannya.” (As-Sunnah I/437)

Al-Muafa bin Amran pernah ditanya, ”Wahai Abu Mas’ud, siapakah yang lebih utama: Umar bin Abdul Aziz atau Muawiyah?” Beliau langsung marah sekali seraya berkata,” Seorang sahabat tidak dibandingkan dengan seorang pun. Muawiyah adalah sahabat Nabi, iparnya, penulis wahyunya.” (Tarikh Dimasyq 59/208)

Ibrahim bin Maisarah berkata, ”Saya tidak melihat Umar bin Abdul Aziz memukul sesorang kecuali seorang yang mencela Muawiyah, beliau mencambuknya dengan beberapa cambukan.” (Tarikh Dimasyq 59/211)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang Muawiyah dan Amr bin Ash, “Apakah dia Rafidhah?” Katanya,” Tak seorang pun berani mencela keduanya kecuali mempunyai tujuan jelek.” (Tarikh Dimasyq 59/210)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, ”Muawaiyah adalah paman kaum mukminin, penulis wahyu Alloh, salah seorang khalifah muslimin- semoga Allah meridhai mereka.” (Lum’atul I’tiqad hal 33)

Ibnu Taimiyah berkata,” Para ulama sepakat bahwa Muawiyah adalah raja terbaik dalam umat, karena 4 pemimpin sebelumnya adalah para khalifah nubuwwah, adapun dia adalah awal raja dan kepemimpinannya adalah rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478, Minhaj Sunnah 6/232)

Ibnu Abil Izzi Al Hanafi berkata, ”Raja pertama kaum muslimin adalah Muawiyah, dan dia adalah sebaik-baiknya raja kaum muslimin.” (syarh Aqidah Thahawiyah hal 722)

Adz-Dzahabi berkata dalam biografinya, ”Amirul mukminin, raja Islam. Muawiyah adalah raja pilihan yang keadilannya mengalahkan kezhaliman.” (Siyar 3/120, 259) …

Ka’ab al-Ahbar berkata : “Tidak ada orang yang akan berkuasa sebagaimana berkuasanya Mu’awiyah.”

Adz-Dzahabi berkata : “Ka’ab meninggal sebelum Mu’awiyah menjadi khalifah, maka benarlah apa yang dikatakan Ka’ab. Sebab Mu’awiyah menjadi khalifah selama dua puluh tahun, tidak ada pemberontakan dan tidak ada yang menandinginya dalam kekuasaannya. Tidak seperti para khalifah yang datang setelahnya. Mereka banyak yang menentang, bahkan ada sebagian wilayah yang menyatakan melepaskan diri.”

Mu’awiyah melakukan pemberontakan kepada Ali sebagaimana yang telah disinggung di muka, dan dia menyatakan dirinya sebagai khalifah. Kemudian dia juga melakukan pemberontakan kepada al­-Hasan. Al-Hasan akhirnya mengundurkan diri. Kemudian Mu’awiyah menjadi khalifah pada bulan Rabiul Awal atau Jumadil Ula, tahun 41 H. Tahun ini disebut sebagai ‘Aam Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun inilah umat Islam bersatu dalam menentukan satu khalifah. Pada tahun itu pula Mu’awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai gubernur Madinah.

Pada tahun 43 H, kota Rukhkhaj dan beberapa kota lainnya di Sajistan ditaklukkan. Waddan di Barqah dan Kur di Sudan juga ditaklukkan. Pada tahun itu pulalah Mu’awiyah menetapkan Ziyad anak ayahnya. Ini -menurut ats-Tsa’labi- merupakan keputusan pertama yang dianggap mengubah hukum yang ditetapkan Rasulullah.

Pada tahun 45 H, Qaiqan dibuka.

Pada tahun 50 H, Qauhustan dibuka lewat peperangan. Pada tahun 50 H, Mu’awiyah menyerukan untuk membaiat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan khalifah setelahnya jika dia meninggal.

Mu’awiyah meninggal pada bulan Rajab tahun 60 H. Dia dimakamkan di antara Bab al-Jabiyyah dan Bab ash-Shaghir. Disebutkan bahwa usianya mencapai tujuh puluh tujuh tahun. Dia memiliki beberapa helai rambut Rasulullah dan sebagian potongan kukunya. Dia mewasiatkan agar dua benda itu di diletakkan di mulut dan kedua matanya pada saat kematiannya. Dia berkata, “Kerjakan itu, dan biarkan saya menemui Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang!”.

Diposting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim, diambil dari‘Biografi Ahlul Hadits’,

 

http://www.alsofwah.or.id/cetaktokoh.php?id=208

Benarkah Hadits Menghujat Mu’awiyah Bin Abi Sufyan?

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc.)

Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali berkata, “Tidak ada satu pun hadits sahih dari Nabi n tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Takhrij Atsar1
Atsar Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali t diriwayatkan oleh Ibnu Asakir t dalam Tarikh Dimasyq (59/106) dan Ibnul Jauzi t dalam al-Maudhu’at (2/24) melalui jalan Zhahir bin Thahir, dari Ahmad bin al-Hasan al-Baihaqi, dari Abu Abdillah al-Hakim, dari Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf al-‘Asham, dari bapaknya, dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali, yang lebih dikenal dengan nama Ishaq bin Rahuyah t.
Atsar ini dha’if (lemah) baik dari tinjauan sanad maupun matannya.
Dalam sanad, ada seorang perawi bernama Zhahir bin Thahir Abul Qasim asy-Syahhami.
Tentangnya, adz-Dzahabi t berkata, “Sama’ (pengambilan riwayatnya) sahih, namun ia menyia-nyiakan shalatnya sehingga banyak huffazh (ahli hadits) meninggalkan riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 3/95)
Adapun matannya, sangat tampak keganjilan. Bagaimana tidak, atsar Ishaq ini menyelisihi sekian banyak hadits marfu’ dari Rasulullah n dan bertentangan dengan atsar-atsar sahih tentang keutamaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Ibnu Asakir t mengisyaratkan penyelisihan tersebut. Beliau berkata setelah meriwayatkan atsar Ishaq, “Riwayat paling sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z adalah hadits Abu Hamzah dari Ibnu Abbas c bahwa Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi n, diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Kemudian hadits Irbadh (bin Sariyah z), (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),
اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْكِتَابَ
“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab.”
Juga hadits Ibnu Abi ‘Amirah z (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah seorang yang mendapat hidayah dan terbimbing.” (Tarikh Dimasyq [59/106])
Sebagian riwayat sahih tersebut cukup sebagai bantahan bagi mereka yang menyatakan tidak ada sama sekali riwayat mengenai keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.2

Mempermainkan Hadits-Hadits Nabi n adalah Jalan Ahli Bid’ah
Hadits dan atsar maudhu’ (palsu) atau dhaif (lemah), seringkali dijadikan alat memerangi Islam, bahkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits sahih tidak ketinggalan dipelintir makna dan pemahamannya kepada makna batil, menurut hawa nafsu mereka.
Atsar Ishaq bin Rahuyah dapat kita jadikan sebagai sebuah contoh. Kandungan riwayat Ishaq adalah vonis bahwa tidak ada satu pun hadits sahih menetapkan keutamaan Mu’awiyah z. Jadilah atsar ini sebagai dalih untuk mendhaifkan semua riwayat tentang keutamaan beliau z.
Syubhat ini sudah barang tentu memberikan pengaruh buruk, terutama bagi mereka yang tidak mengetahui hadits-hadits Nabi n. Lebih-lebih ucapan ini dinisbatkan kepada seorang pemuka ahli hadits, Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad al-Hanzhali Abu Muhammad bin Rahuyah al-Marwazi t (wafat 238 H), sahabat karib al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani t (wafat 241 H).
Akan tetapi, alhamdulillah, syubhat ini terbantah dengan terbuktinya kelemahan riwayat baik dari sisi matan maupun sanadnya.
Bahkan, seandainya pun atsar ini sahih, bisa ditakwilkan kepada makna bahwa Ishaq mungkin saja mengucapkannya ketika belum mengetahui riwayat-riwayat sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z. Takwil ini kita tetapkan karena telah terbukti banyak riwayat sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z. Selain itu, ahlul hadits juga bersepakat tentang kemuliaan beliau sebagai salah seorang sahabat Rasulullah n.
Pembaca rahimakumullah, untuk lebih jelas melihat sepak terjang musuh-musuh Allah l—seperti Syiah Rafidhah—dalam hal mempermainkan riwayat, kita akan telaah bersama beberapa hadits lemah yang mereka jadikan sandaran untuk mencela Mu’awiyah. Di samping itu, kita juga akan menelaah beberapa hadits atau atsar sahih yang mereka selewengkan maknanya demi menjatuhkan kehormatan Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Sebagian riwayat tersebut sengaja ditampilkan sebagai peringatan bagi seluruh kaum muslimin dari pemikiran pengikut hawa nafsu dan semoga menjadi bekal agar kita tidak lagi memedulikan bualan orang-orang yang berpenyakit. Hal ini karena di balik kefasihan yang mereka miliki, ada racun yang demikian berbahaya bagi hati seorang mukmin. Wallahul musta’an.

Di antara Hadits-Hadits Lemah berisi Celaan kepada Mu’awiyah z
Hadits Pertama: Rasulullah n memerintahkan sahabat membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِي فَاقْتُلُوهُ
“Apabila kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, bunuhlah ia!”
Syiah Rafidhah dan musuh-musuh Allah l yang bersama mereka menonjolkan hadits ini untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Hadits ini mereka jadikan sebagai salah satu dalil untuk mengafirkan Mu’awiyah z.
Sebagai jawabannya, kita katakan, “Wahai Rafidhah, kalian adalah kaum yang telah tersesat dari jalan kebenaran. Buku-buku kalian dipenuhi celaan kepada Islam, sahabat, bahkan istri-istri Rasul n dan ahlul bait. Oleh karena itu, kami tidak percaya dengan ucapan yang muncul dari mulut-mulut kotor kalian, termasuk hadits yang kalian bawakan ini.
Wahai Rafidhah, bagaimana mungkin kita menerima celaan kalian atas Mu’awiyah z padahal salaful ummah, para ulama ahlul hadits, dan kaum muslimin telah bersepakat tentang keutamaan Mu’awiyah z? Bahkan, tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang mencela beliau, apalagi berkeyakinan halalnya pembunuhan atas beliau.
Terkait dengan hadits yang kalian bawakan, ketahuilah bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). Seluruh jalan periwayatannya batil.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t menyebutkan jalan-jalan hadits ini dalam Silsilah adh-Dha’ifah dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Sahl bin Hanif, dan secara mursal dari al-Hasan al-Bashri.3
Seluruh ulama hadits menganggapnya sebagai kedustaan. Di antara mereka adalah Ayyub as-Sikhtiyani sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal (5/101), al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-‘Ilal (hlm. 138), Abu Zur’ah ar-Razi sebagaimana dinukil dalam adh-Dhu’afa (2/427), al-Bukhari dalam Tarikh al-Ausath (1/256), Ibnu Hibban al-Busti dalam al-Majruhin (1/157, 250 dan 2/172), Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil (2/146, 209, 5/101, 200, 314 dan 7/83), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (59/155—158), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (2/24), demikian pula adz-Dzahabi dalam al-Mizan, dan Ibnu Katsir rahimahumullah.
Al-Bukhari t berkata setelah menyebutkan illat (cacat) hadits ini dari jalan yang paling masyhur,
لَيْسَ لَهَا أُصُولٌ، وَلاَ يَثْبُتُ عَنِ النَّبِيِّ n خَبَرٌ عَلَى هَذَا النَّحْوِ فِي أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n، إِنَّمَا يَقُولُهُ أَهْلُ الضَّعْفِ.
“Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada satu kabar pun yang semisal ini (berisi perintah membunuh atau celaan) dari Nabi n terhadap seorang sahabat pun. Hanyalah orang-orang lemah yang berbicara seperti itu.” (Tarikh al-Ausath 1/256)
Al-Jauzaqani berkata, “Hadits ini maudhu’ (palsu), batil, tidak ada asalnya dalam hadits-hadits (Rasulullah n). Hadits ini tidak lain adalah hasil perbuatan ahli bid’ah para pemalsu hadits. Semoga Allah l menghinakan mereka di dunia dan akhirat. Barang siapa meyakini (kandungan) hadits palsu ini dan yang semisalnya, atau terbetik dalam hatinya bahwa hadits-hadits ini keluar dari lisan Rasulullah n, sungguh ia adalah seorang zindiq….” (al-Abathil wal Manakir 1/200)
Tindak-tanduk pengikut hawa nafsu memang sangat membingungkan, sekaligus menunjukkan kerusakan akal dan hatinya. Mereka berhujah dengan hadits maudhu’ (palsu) di atas, sementara itu mereka menutup mata terhadap hadits-hadits sahih tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Pujian dan doa Rasulullah n untuk sahabat Mu’awiyah disembunyikan. Kedudukan Mu’awiyah sebagai saudara ipar Rasulullah n juga mereka lupakan. Seolah-olah tidak ada berita itu. Justru berita-berita palsu ditampakkan dan disebarkan. Inikah sikap keadilan?
Hadits palsu ini, kalau dicermati lebih dalam, justru mengandung celaan kepada seluruh sahabat, bahkan ahlul bait, semisal al-Hasan bin ‘Ali c. Sebuah kejadian tarikh yang masyhur dilalaikan oleh para pencela Mu’awiyah z, yaitu ‘Amul Jama’ah (Tahun Persatuan) ketika al-Hasan bin Ali c menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dan berbai’at kepada beliau pada tahun 41 H. Padahal, al-Hasan memiliki pasukan yang besar dan mampu mengobarkan pertempuran yang hebat.
Wahai Rafidhah, mengapa al-Hasan bin Ali c tidak membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan c serta melaksanakan perintah dan wasiat kakeknya, Rasulullah n—kalau hadits ini memang benar?4
Terakhir, wahai Syiah Rafidhah, ketahuilah bahwa hadits maudhu’ ini diriwayatkan pula dengan lafadz,
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِي فَاقْبَلُوهُ
“Jika kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, terimalah ia.”
Mengapa kalian tidak mengambil riwayat yang kedua ini, sebagaimana kalian memakai riwayat pertama yang sama-sama berita dusta?
As-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashnu’ah (1/389) berkata, “Sesungguhnya riwayat kedua ini lebih masuk akal daripada riwayat pertama.”
Hadits Kedua: Mu’awiyah z difitnah sebagai ahli maksiat, memakai baju sutra, dan menghamparkan kulit harimau sebagai tempat duduk.
Tuduhan keji ini dilandasi oleh sebuah riwayat panjang, yang dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam as-Sunan, Bab “Julud an-Numur wa as-Siba’ (Kulit-Kulit Harimau dan Hewan Buas)” (11/176 no. 3602). Dalam hadits itu dikatakan,
…. قَالَ: يَا مُعَاوِيَةُ، إِنْ أَنَا صَدَقْتُ فَصَدِّقْنِي، وَإِنْ أَنَا كَذَبْتُ فَكَذِّبْنِي. قَالَ: أَفْعَلُ. قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ لُبْسِ الذَّهَبِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَوَاللهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ هَذَا كُلَّهُ فِي بَيْتِكَ، يَا مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: قَدْ عَلِمْتُ أَنِّي لَنْ أَنْجُوَ مِنْكَ، يَا مِقْدَامُ
Miqdam z berkata,“Wahai Mu’awiyah, jika aku benar katakan benar, namun jika aku salah, katakanlah salah.” Mu’awiyah menjawab, “Baiklah.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai emas (yakni bagi kaum lelaki, -pen.)?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai sutra?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang memakai kulit hewan buas dan mendudukinya?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Lalu Miqdam berkata, “Demi Allah, sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai Mu’awiyah.” Berkatalah Mu’awiyah, “Sungguh aku tahu, aku tidak akan selamat darimu, wahai Miqdam!”
Kisah ini dha’if (lemah), dalam sanadnya ada Baqiyyah bin al-Walid. Dia seorang mudallis dan melakukan tadlis taswiyah5, lebih-lebih ia meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah dari gurunya.6
Seandainya pun hadits ini sahih, wajib bagi kita berhusnuzhan kepada seluruh sahabat Rasulullah n karena mereka adalah kaum yang telah diridhai oleh Allah l. Demikianlah adab yang dicontohkan oleh salaf. Tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang memahami bahwa hadits riwayat Abu Dawud di atas adalah celaan terhadap Mu’awiyah z.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah ketika mensyarah perkataan al-Miqdam bin al-Aswad z,
فَوَاللهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ هَذَا كُلَّهُ فِي بَيْتِكَ، يَا مُعَاوِيَةُ
“Demi Allah, sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai Mu’awiyah.”
Maksud Miqdam z, beliau melihat kemungkaran pada sebagian saudara atau keluarga Mu’awiyah. Telah diketahui bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak menyetujui hal itu dan tidak meridhainya. (Adapun masih adanya kemungkaran pada sebagian keluarga beliau), bisa jadi beliau tidak mengetahui kemungkaran tersebut atau beliau mengetahuinya dan telah melarangnya. Jika ada berita seperti ini tentang sahabat, kita wajib membawanya kepada makna yang baik sebagai bentuk husnuzhan kepada mereka. (Syarah Sunan Abu Dawud, asy-Syaikh Abdul Muhsin)

Hadits Ketiga: Mu’awiyah z dituduh mencela Ali bin Abi Thalib z dan memerintahkan rakyatnya mencela Ali z.
Tuduhan keji terhadap Mu’awiyah z ini mereka dasari dengan sebuah riwayat sahih yang mereka pelintir maknanya sesuai dengan hawa nafsu mereka. Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata,
أَمَرَ مُعَاوِيَةُ سَعْدًا فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا تُرَابٍ؟ قَالَ: أَمَا مَا ذَكَرْتُ ثَلَاثًا قَالَهُنَّ رَسُولُ اللهِ، فَلَنْ أَسُبَّهُ، لَأَنْ تَكُونَ لِي وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ لَهُ وَقَدْ خَلَّفَهُ فِي بَعْضَ مَغَازِيهِ فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: يَا رَسُولَ اللهِ، تُخَلِّفُنِي مَعَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَرُونَ مِنْ مُوسَى إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نُبُوَّةَ بَعْدِي. وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ فِي يَوْمِ خَيْبَرٍ: لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ.
Mu’awiyah memanggil Sa’d lalu bertanya, “Apa yang menghalangimu mencela Abu Turab?”7 Sa’d menjawab, “Apa yang aku sebutkan tentang tiga hal yang semuanya diucapkan oleh Rasulullah n kepada Ali z sehingga aku tidak mencelanya. Seandainya aku mendapatkan salah satu saja dari ketiganya, itu lebih baik bagiku daripada unta merah… Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali—ketika beliau tugaskan Ali tinggal di Madinah pada sebagian peperangan, dan saat itu Ali berkata, ‘Wahai Rasulullah n, apakah engkau tinggalkan aku beserta kaum wanita dan anak-anak kecil (dan aku tidak bisa ikut berperang)?’ Lalu beliau n bersabda, ‘Tidakkah engkau ridha, wahai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja (engkau bukan nabi), tidak ada kenabian sesudahku.’ Aku juga mendengar beliau n bersabda saat Perang Khaibar, ‘Sungguh esok aku akan berikan panji peperangan kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, ia pun dicintai oleh Allah l dan Rasul-Nya’.”
Hadits ini tidak diragukan kesahihannya, dikeluarkan oleh al-Imam Muslim t dalam ash-Shahih no. 2404.
Musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya melihat ada celah dalam hadits ini untuk dibawa kepada makna yang batil. Sisi tersebut adalah pertanyaan Mu’awiyah kepada Sa’d bin Abi Waqqash z:
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا تُرَابٍ؟
“(Wahai Sa’d) apa yang menghalangimu mencela Abu Turab (julukan Ali bin Abi Thalib z)?”
Segera Syiah Rafidhah mengambil kesimpulan keji dari pertanyaan itu bahwa Mu’awiyah membenci Ali bin Abi Thalib serta mengajak manusia membenci dan mencela Ali bin Abi Thalib z.
Tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang memahami riwayat ini sebagai celaan atas Mu’awiyah z. Coba kalian sebutkan, wahai Rafidhah, siapakah ulama yang memaknai hadits ini dengan celaan kepada Mu’awiyah?
Sebaliknya, riwayat ini justru menyanjung Mu’awiyah dan Daulah Umawiyah, karena ada tuduhan dari kalangan Rafidhah bahwasanya Bani Umayyah telah berbuat makar dengan menyembunyikan dan melarang disampaikannya hadits-hadits Nabi tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib z.
Hadits Muslim di atas justru sebaliknya. Dalam kisah di atas tampak bagaimana Mu’awiyah z menetapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang disampaikan oleh Sa’d bin Abi Waqqash z. Hadits ini pun sampai kepada kita setelah melalui zaman yang cukup panjang, termasuk zaman Bani Umayyah.
Akan tetapi, Rafidhah dan pengikut mereka—sebagaimana biasanya—menyimpang dari jalan salaf (sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in) dan memilih jalan kesesatan. Mereka memalingkan maknanya kepada pemahaman yang sama sekali tidak pernah tebersit dalam benak ulama salaf.
Pembaca, mari kita simak keterangan salah seorang ulama Syafi’iyah, al-Imam an-Nawawi t. Beliau berkata, “Tidak ada (dalam perkataan Mu’awiyah) perintah kepada Sa’d untuk mencela Ali. Yang ada hanyalah pertanyaan kepada Sa’d tentang sebab yang menghalanginya dari mencela Ali. (Makna pertanyaan Mu’awiyah), “Wahai Sa’d, engkau menjauhkan diri dari mencela Ali, apakah (kau tinggalkan itu) karena wara’ (yakni karena Allah) atau karena takut (manusia)? Apabila engkau meninggalkannya karena wara’, engkau benar dan telah berbuat baik. Namun, apabila engkau meninggalkannya karena takut (manusia), urusannya lain.”
Sepertinya, Mu’awiyah menanyakan hal ini karena Sa’d (saat itu) berada di tengah-tengah kaum (Khawarij) yang mencela Ali bin Abi Thalib z, namun tidak mengikuti mereka. Maka dari itu, Mu’awiyah mengajukan pertanyaan ini. (Syarh Shahih Muslim, 15/175—176 atau 184—185)

Hadits Keempat: Mu’awiyah z dituduh memerintah pengikutnya memakan harta dengan cara yang batil dan memerintahkan mereka untuk bunuh diri.
Sekali lagi, ini adalah salah satu fitnah keji yang ditujukan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, penulis wahyu Allah l dan orang kepercayaan Rasulullah n.
Dalam upaya menegakkan syubhat ini, mereka ketengahkan sebuar atsar sahih berikut. Seseorang berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash c,
إِنّ ابْنَ عَمِّكَ مُعَاوِيَةَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَأْكُلَ أَمْوَالَنَا بَيْنَنَا بِالْبَاطِلِ وَنَقْتُلَ أَنْفُسَنَا. فَسَكَتَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو سَاعَةً ثُمَّ قَالَ: أَطِعْهُ فِي طَاعَةِ اللهِ وَاعْصِهِ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Sesungguhnya anak pamanmu, Mu’awiyah, menyuruh kami untuk memakan (merampas) harta sebagian kita dengan batil, dan memerintahkan kita untuk membunuh diri kita.” Abdullah bin ‘Amr terdiam sejenak (atas pertanyaan itu) lalu berkata, “Taatilah Mu’awiyah dalam hal ketaatan kepada Allah dan ingkarilah dalam hal kemaksiatan kepada Allah.”
Atsar ini sahih, al-Imam Muslim t meriwayatkannya dalam Shahih-nya “Kitabul Imarah”, bab “Wujubil Wafa’ bi Bai’ihi al-Khalifah al-Awwal fal Awwal” (no. 1844).
Sebagai jawaban atas syubhat ini, kita cukupkan keterangan al-Imam an-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim (12/476). Beliau t berkata, “Sang penanya, ketika mendengar Abdullah bin Amr bin al-Ash c menyebutkan hadits tentang haramnya memberontak kepada khalifah yang pertama, sedangkan khalifah yang kedua dibunuh (karena menentang penguasa pertama), muncul dalam benak penanya bahwa sifat ini ada pada Mu’awiyah karena Ali telah dibai’at sebagai khalifah. Sang penanya menyangka bahwa biaya yang dikeluarkan oleh Mu’awiyah untuk para prajurit dan pengikutnya dalam peperangan berhadapan dengan Ali z (dahulu dalam Perang Shiffin, -pen.) termasuk memakan harta dengan batil dan termasuk bunuh diri, karena peperangan itu (Shiffin) adalah perang yang tidak haq….”
Telah berlalu dalam pembahasan Perang Shiffin bahwa perang tersebut adalah perang fitnah. Terjadi karena perbedaan ijtihad dua sahabat mulia dalam masalah penegakan qishash atas para pembunuh Utsman bin Affan z. Mereka berdua berhak mendapatkan pahala mujtahid, bukan celaan, sebagaimana dilontarkan oleh kaum Rafidhah yang telah buta mata hati mereka, wal ‘iyadzu billah.

Hadits Kelima: Mu’awiyah z didoakan kejelekan oleh Rasulullah n.
Dari Ibnu Abbas c, ia berkata,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ n فَتَوَارَيْتُ خَلْفَ بَابٍ، قَالَ: فَجَاءَ فَحَطَأَنِي حَطْأَةً وَقَالَ: اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ. قَالَ: فَجِئْتُ فَقُلْتُ: هُوَ يَأْكُلُ. قَالَ: ثُمَّ قَالَ لِي: اذْهَبْ، فَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ. قَالَ: فَجِئْتُ فَقُلْتُ: هُوَ يَأْكُلُ. فَقَالَ: لَا أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ. قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى: قُلْتُ لِأُمَيَّةَ: مَا حَطَأَنِي؟ قَالَ: قَفَدَنِي قَفْدَةً
Saat aku bermain bersama anak-anak kecil, datanglah Rasulullah n. Aku pun bersembunyi di balik pintu. Beliau pun memegangku seraya berkata, “Pergilah engkau, panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan, “Ia sedang makan.” Beliau lagi, “Pergilah engkau, panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan, “Ia sedang makan.” Rasul pun bersabda,
لَا أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ
“Allah tidak akan mengenyangkan perutnya.”
Hadits ini sahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 4713).
Al-Imam Muslim t memahami sebagaimana yang dipahami oleh ulama salaf, ahlul hadits, bahwa Mu’awiyah bukan orang yang pantas mendapatkan doa kejelekan—lebih-lebih telah kita dengar hadits-hadits berisi pujian Rasulullah n kepada Mu’awiyah. Oleh karena itu, al-Imam Muslim menganggap hadits ini termasuk keutamaan Mu’awiyah z.
Sepintas, hadits ini memang doa kejelekan untuk Mu’awiyah bin Abu Sufyan z. Namun, salafus saleh justru memahaminya sebagai keutamaan sahabat yang mulia ini.
Oleh karena itu, Muslim mengeluarkan hadits ini untuk menetapkan keutamaan sahabat Mu’awiyah z. Beliau menyebutkan hadits ini dalam bab “Orang yang dilaknat atau dicerca atau didoakan kejelekan oleh Nabi n dan ia bukan orang yang pantas mendapatkannya, maka doa itu menjadi kesucian, pahala, dan rahmat Allah l.”
Hal ini berdasarkan sabda beliau dalam Shahih Muslim,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ، وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ، فَأَيُّمَا أَحَدٍ دَعَوْتُ عَلَيْهِ مِنْ أُمَّتِي بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهَا بِأَهْلٍ أَنْ تَجْعَلَهَا لَهُ طَهُورًا وَزَكَاةً وَقُرْبَةً تُقَرِّبُهُ بِهَا مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Sungguh, aku hanya seorang manusia yang bisa ridha sebagaimana manusia ridha dan bisa marah sebagaimana manusia marah. Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan yang ia tidak pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu sebagai kebersihan, kesucian, dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di hari kiamat.”
An-Nanawi t berkata dalam syarah hadits ini7, “Apa yang terucap dari Rasul n berupa celaan atau doa semisal ini tidaklah beliau maksudkan. Akan tetapi, hal tersebut adalah sesuatu yang biasa terucap dalam adat orang Arab, yaitu ucapan tanpa niat, seperti ucapan (تَرِبَتْ يَمِينُكَ) “Celaka tanganmu!” … dan hadits Mu’awiyah (لاَ أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ) “Allah tidak akan mengenyangkan perutnya”, dan semisalnya.
Orang Arab tidak memaksudkan sedikit pun hakikat (makna yang terkandung) dari kalimat tersebut. Rasulullah n (sebagai manusia biasa) pun khawatir seandainya (muncul dari beliau ucapan yang tidak beliau niatkan) kemudian doa tersebut dikabulkan. Oleh karena itu, beliau meminta Rabbnya dan mengharap kepada-Nya agar ucapan tersebut dijadikan sebagai rahmat, penghapus dosa, kebaikan, kesucian, dan pahala (bagi orang yang mendapatkan perkataan tanpa maksud tersebut).
Ucapan seperti itu hanya terjadi sesekali dan sangat jarang. Beliau n bukan seorang yang kasar, kotor ucapan, suka melaknat, atau membalas dendam untuk membela diri beliau.”8
Ibnu Katsir t berkata, “Sungguh, Mu’awiyah sangat mengambil manfaat dari doa ini di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia, semenjak beliau menjadi gubernur di Syam, beliau makan sehari tujuh kali. Dihidangkan di hadapan beliau nampan besar berisi daging yang banyak dan bawang. Beliau makan dari nampan tersebut. Dalam sehari, beliau makan tujuh kali dengan daging, kue-kue, dan buah-buahan yang banyak (dan beliau tidak kekenyangan). Bahkan, beliau berkata, ‘Demi Allah aku tidak kenyang, namun aku berhenti karena letih.’ Ini hakikatnya adalah nikmat yang didambakan banyak raja.” (al-Bidayah wan Nihayah)
Adapun kebaikan di akhirat tampak dalam sabda Rasulullah n,
فَأَيُّمَا أَحَدٍ دَعَوْتُ عَلَيْهِ مِنْ أُمَّتِي بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهَا بِأَهْلٍ أَنْ تَجْعَلَهَا لَهُ طَهُورًا وَزَكَاةً وَقُرْبَةً تُقَرِّبُهُ بِهَا مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan yang ia tidak pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu sebagai kebersihan, kesucian, dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di hari kiamat.”9

Khatimah
Di antara kaum yang paling getol melakukan berbagai kebusukan adalah Syiah Rafidhah bersama dengan barisan musuh-musuh Islam. Tarikh membuktikan andil mereka yang sangat besar dalam membuat kerusakan di muka bumi dan bagaimana mereka terus berupaya mengusik kemurnian Islam dengan kesyirikan dan kebid’ahan.
Fakta ini tidak bisa ditutupi atau dimungkiri. Lisan-lisan mereka mengucapkannya. Buku dan tulisan menjadi saksi kedengkian mereka kepada para sahabat, istri-istri Rasulullah n, bahkan diri Rasulullah n. Permusuhan mereka terhadap Islam secara umum sangat tampak, lebih-lebih permusuhan terhadap Ahlus Sunnah. Hadits-hadits palsu dan lemah, demikian pula tafsiran-tafsiran ngawur terhadap hadits-hadits sahih yang telah kita kaji bersama adalah salah satu dari sekian banyak hadits yang dipakai oleh Rafidhah untuk mencela sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Permusuhan Rafidhah terus berlangsung sejak agama Rafidhah dibangun oleh Abdullah bin Saba’ al-Yahudi hingga saat ini, dan hingga masa yang dikehendaki oleh Allah l. Kalau bukan ruang yang membatasi, ingin sesungguhnya kita nukilkan ucapan-ucapan kotor salah seorang tokoh Syiah Rafidhah, yaitu Khomeini, yang banyak dipenuhi caci maki, celaan, dan cercaan kepada para sahabat, istri-istri Rasul, bahkan Nabi Muhammad n. Ucapan-ucapan kufurnya tertulis dalam buku-buku Syi’ah yang tidak mungkin mereka mungkiri.
Semoga Allah l menyelamatkan hati kita dari kedengkian kepada Islam dan kaum muslimin, terkhusus generasi terbaik, sahabat Rasulullah n. Semoga Allah l menyelamatkan kita dari fitnah yang datang seperti potongan malam yang gelap gulita. Amin.

Catatan Kaki:

1 Atsar adalah ucapan yang disandarkan kepada sahabat Nabi n atau generasi setelahnya. Adapun hadits adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah n baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan), maupun sifat.

2 Beberapa riwayat marfu’ dan atsar tentang keutamaan Mu’awiyah z bisa dilihat kembali pada Kajian Utama edisi ini berjudul Keutamaan Mu’awiyah, Kesepakatan Ahlus Sunnah Sepanjang Zaman.

3 Lihat juz 10/605—611 hadits no. 4930.

4 Berhujah dengan hadits “Bunuhlah Mu’awiyah,” artinya mencela seluruh sahabat Nabi n yang melihat Mu’awiyah. Termasuk yang dicela adalah ahlul bait, di antaranya Ali bin Abi Thalib z dan al-Hasan bin Ali, karena tidak ada seorang pun dari mereka melaksanakan perintah Rasulullah n membunuh Mu’awiyah. Sebaliknya, mereka justru berbai’at dan mengiringi Mu’awiyah berjihad dalam futuhat (pembukaan wilayah baru Islam).

5Tadlis taswiyah adalah jenis tadlis yang paling berat. Orang yang melakukan tadlis taswiyah menggugurkan perawi yang dhaif di antara dua orang tsiqah yang salah seorang di antara keduanya mendengar dari yang lain.
6 Hadits ini dikeluarkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/132). Dalam riwayat Ahmad, Baqiyyah terang-terangan mendengar hadits dari gurunya, Bahir bin Sa’d, namun tidak cukup untuk menguatkan bagian yang terkait dengan kisah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.

7 Lihat juga al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir (11/402) dan adz-Dzahabi dalam as-Siyar (3/124 dan 14/130).

8 Makna yang benar tentang hadits ini disebutkan pula oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah (1/164—167, hadits no.82, 83, dan 84).
9 Lihat rubrik Manhaji edisi ini tentang penjelasan hadits di atas.

 

sumber : http://asysyariah.com/benarkah-hadits-menghujat-muawiyah-bin-abi-sufyan.html

 

http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/214-nasehat-habib-habib-wahabi-kepada-habib-habib-sufi-syiah

Sungguh merupakan suatu kemuliaan tatkala seseorang ternyata termasuk Ahlul Bait, tatkala seseorang merupakan cucu dan keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadi keturunan orang yang paling mulia yang pernah ada di atas muka bumi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita untuk memperhatikan para Ahlul Bait. Kita sebagai seorang ahlus sunnah, bahkan sebagai seorang muslim harus menghormati keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika keturunan Nabi tersebut adalah orang yang bertakwa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وأهلُ بَيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي

“Dan keluargaku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baiti (keluargaku), aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang keluargaku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baiti keluargaku”
(HR Muslim no 2408)

Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bertakwa kepada Allah dalam memperhatikan hak-hak Ahlul Bait, dan memerintahkan kita untuk menghormati mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Ahlul Bait memiliki manzilah dalam Islam.
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ali bin Abi Thholib :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أحبُّ إليَّ أنْ أَصِلَ من قرابَتِي

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi) daripada kerabatku sendiri”
(HR Al-Bukhari no 3711)

Sungguh begitu bahagianya tatkala saya bertemu dengan cucu-cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Kota Nabi shallallahu yang tegar dan menyerukan sunnah Nabi dan memerangi kesyirikan dan kebid’ahan. Begitu bahagianya saya tatkala sempat kuliah di Unversitas Islam Madinah program jenjang Strata 1 selama 4 tahun (tahun 2002 – 2006) di fakultas Hadits yang pada waktu itu dekan kuliah hadits adalah Doktor Husain Syariif al-‘Abdali yang merupakan Ahlul Bait…yang menegakkan sunnah-sunnah leluhurnya dan memberantas bid’ah yang tidak pernah diserukan oleh leluhurnya. Alhamdulillah hingga saat artikel in ditulis beliau masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Hadits

Akan tetapi merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala saya mendapati sebagian ahlul bait yang menjadi pendukung bid’ah…pendukung aqidah dan amalan yang tidak pernah diserukan oleh Leluhur mereka habibuna Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan betapa banyak orang syi’ah Rofidoh yang mengaku-ngaku sebagai cucu-cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengkafirkan ahlul bait yang sangat dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu istri beliau ‘Aisyah radhiallahu ‘anhaa. Demikian juga mereka mengkafirkan lelaki yang paling dicintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Wallahul Musta’aan…

Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah terhadap Ahlul Bait adalah sikap tengah antara sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan sikap kurang/keras kepada Ahlul Bait.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenal keutamaan orang yang menggabungkan antara keutamaan takwa dan kemuliaan nasab.

–         Maka barangsiapa diantara Ahlul Bait yang merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Ahlus Sunnah mencintainya karena tiga perkara, karena sebagai sahabat Nabi, karena ketakwaannya dan karena kekerabatannya dengan Nabi.

–         Barangsiapa diantara Ahlul Bait yang bukan merupakan sahabat akan tetapi bertakwa maka Ahlus Sunnah mencintainya karena dua perkara, karena ketakwaannya dan karena kekerabatannya.

Ahlus Sunnah meyakini bahwa kemuliaan nasab mengikuti kemuliaan takwa dan iman.

Adapun barangsiapa diantara Ahlul Bait yang tidak bertakwa maka kemuliaan nasabnya tidak akan memberi manfaat baginya. Allah telah berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu (QS Al-Hujuroot : 13).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barang siapa yang amalannya memperlambatnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya” (HR Muslim no 2699)

Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits ini :

مَعْنَاهُ مَنْ كَانَ عَمَلُهُ نَاقِصًا لَمْ يُلْحِقْهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَابِ الأَعْمَالِ فَيَنْبَغِى أَنْ لاَ يَتَّكِلَ عَلَى شَرَفِ النَّسَبِ وَفَضِيْلَةِ الآبَاءِ وَيُقَصِّرُ فِى الْعَمَلِ

“Makna hadits ini yaitu barang siapa yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan membuatnya sampai pada kedudukan orang-orang yang beramal, maka seyogyanya agar ia tidak bersandar kepada kemuliaan nasabnya dan keutamaan leluhurnya lalu kurang dalam beramal” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 17/22-23)

Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata :

فَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ الْمَنَازِلَ الْعَالِيَةَ عِنْدَ اللهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ فَيُبَلِّغُهُ تِلْكَ الدَّرَجَاتِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى رَتَّبَ الْجَزَاءَ عَلَى الأَعْمَالِ لاَ عَلَى الأَنْسَابِ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّوْرِ فَلاَ أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءَلُوْنَ

“Barangsiapa yang amalnya lambat dalam mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah maka nasabnya tidak akan mempercepat dia untuk mencapai derajat yang tinggi tersebut. Karena Allah memberi ganjaran/balasan atas amalan dan bukan atas nasab sebagaimana firman Allah

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ (١٠١)

“Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya” (QS Al-Mukminun : 101)” (Jaami al-‘Uluum wa al-Hikam hal 652)

Ibnu Rojab berkata selanjutnya:

“Dan dalam Musnad (*Ahmad) dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengutus beliau ke negeri Yaman maka Nabi keluar bersama beliau sambil memberi wasiat kepada beliau, lalu Nabi berpaling dan menghadap ke kota Madinah dengan wajahnya dan berkata :

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ، مَنْ كَانُوْا حَيْثُ كَانُوْا

“Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat dengan aku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa saja mereka dan di mana saja mereka” (*HR Ahmad no 22052)

Dan At-Thobroni mengeluarkan hadits ini dengan tambahan :

إِنَّ أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاَءِ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ الْمُتَّقُوْنَ مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا

“Sesungguhnya Ahlul Bait mereka memandang bahwasanya mereka adalah orang yang paling dekat denganku, dan perkaranya tidak demikian, sesungguhnya para wali-waliku dari kalian adalah orang-orang yang bertakwa, siapapun mereka dan di manapun mereka”
(*HR At-Thobroni 20/120 dan Ibnu Hibbaan dalam shahihnya no 647. Al-Haitsaimy dalam Majma’ Az-Zawaid (10/400) berkata : Isnadnya jayyid (baik), demikian juga Syu’aib Al-Arnauuth berkata : Isnadnya kuat)

Dan semua ini didukung oleh sebuah hadits yang terdapat di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Amr bin Al-‘Aash bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ آلَ أَبِي فُلاَنٍ لَيْسُوْا لِي بِأَوْلِيَاءِ وَإِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُو الْمُؤْمِنِيْنَ

“Sesungguhnya keluarga ayahku –yaitu si fulan- bukanlah para waliku, dan hanyalah para waliku adalah Allah, dan orang-orang mukmin yang sholih” (*HR Al-Bukhari no 5990 dan Muslim no 215)

Rasulullah memberi isyarat bahwa walaa’ kepada beliau tidak diperoleh dengan nasab meskipun dekat nasabnya, akan tetapi diperoleh dengan keimanan dan amalan sholeh. Maka barangsiapa yang imannya dan amalannya semakin sempurna maka walaa’nya semakin besar kepada Nabi, sama saja apakah ia memiliki nasab yang dekat dengan Nabi ataukah tidak. Dan dalam penjelasan ini seorang (penyair) berkata :

لعمرُك ما الإنسانُ إلَّا بِدِيْنِهِ              فَلاَ تَتْرُكِ التَّقْوَى اتِّكالاً عَلَى النَّسَبِ

لَقَدْ رَفَعَ الإِسْلاَمُ سَلْمَانَ فَارِسٍ            وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ النَّسِيبَ أبا لَهَبِ

“Tidaklah seseorang (bernilai) kecuali dengan agamanya

Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan dan bersandar kepada nasab

Sungguh Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi (*yang bukan orang arab)

Dan kesyirikan telah merendahkan orang yang bernasab tinggi si Abu Lahab”.

(Demikian perkataan ibnu Rojab, Jaami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, hal 653-654, Syarah hadits ke 36)

Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits di atas:

ومعناه إِنما وليي من كان صالحا وإِن بَعُدَ نَسَبُه مِنِّي وليس وليي من كان غير صالح وان كان نسبه قريبا

“Dan maknanya adalah : Yang menjadi Waliku hanyalah orang yang sholeh meskipun nasabnya jauh dariku, dan tidaklah termasuk waliku orang yang tidak sholih meskipun nasabnya dekat” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 3/87)

Sungguh sangat menyedihkan ternyata di tanah air Indonesia ada sebagian Ahlul Bait yang menjadi pendukung bid’ah dan aqidah yang menyimpang. Sehingga sebagian masyarakat muslim Indonesia langsung tertarik dengan dakwah yang diserukannya. Bahkan sebagian masyarakat Indonesia menyangka bahwa apa saja yang dibawa dan didakwahkan olehnya itulah kebenaran.

Padahal di sana masih banyak Ahlul Bait (para Habib) yang menyeru kepada sunnah Nabi dan memerangi bid’ah.

Oleh karenanya pada artikel ini saya ingin menjelaskan kepada para pembaca bahwasanya para habib bukan hanya mereka-mereka yang menyeru pada acara bid’ah (habib-habib sufi) atau mereka-mereka yang menyeru kepada kekufuran (seperti habib-habib syi’ah rofidhoh) akan tetapi masih banyak habib-habib yang menyeru kepada tauhid dan sunnah serta memerangi kesyirikan dan bid’ah.

HABIB-HABIB MENOLAK MAULID

Berikut ini nasehat yang datang dari lubuk hati yang paling dalam yang ditulis oleh para habib wahabi kepada para habib yang gemar melaksanakan perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Segala puji bagi Allah penguasa alam semesta, Yang Maha pemberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hambaNya kepada jalan yang lurus. Sholawat dan salam tercurahkan kepada manusia tersuci yang telah diutus sebagai rahmat untuk alam dan juga tercurahkan kepada keluarganya  serta seluruh para sahabatnya.

Kemudian daripada itu, di antara Prinsip-prinsip yang agung yang berpadu di atasnya hati-hati para ulama dan kaum Mukminin adalah meyakini (mengimani) bahwa petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk yang paling sempurna, dan syari’at yang beliau bawa adalah syari’at yang paling sempurna, Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا (٣)

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al maidah:3)

Dan meyakini (mengimani) bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan agama yang dipanuti oleh seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dia cintai dari ayahnya, anaknya, dan semua manusia. (HR. al-Bukhari & Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, Imam orang-orang yang bertaqwa, Pemimpin anak-cucu Adam, Imam Para Nabi jika mereka dikumpulkan, dan Khatib mereka jika mereka diutus, si Pemilik al-Maqoom al-Mahmuud dan Telaga yang akan dihampiri, Pemilik bendera pujian, pemberi syafa’at manusia pada hari kiamat, Pemilik al-Washiilah dan al-Fadhiilah. Allah telah mengutusnya dengan membawa kitab suci yang terbaik, dan Allah telah memberikan kepadanya syari’at yang terbaik, dan Allah menjadikan umatnya sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)

Dan di antara kecintaan kepada beliau adalah mencintai keluarga beliau (Ahlul Bait), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Aku mengingatkan kalian kepada Allah pada Ahlu Bait (keluarga)ku. (HR. Muslim).

Maka wajib bagi keluarga Rasulullah (Ahlul Bait) untuk menjadi orang yang paling yang mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, paling meneladani petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at datang untuk menyelisihi penyeru hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥)

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’: 65)

Kecintaan yang hakiki pastilah akan malazimkan Ittiba’ yang benar. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣١)

Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali ‘Imran: 31)

Seseorang bukan hanya sekedar berafiliasi kepada beliau secara nasab sudah cukup untuk menjadikannya sesuai dengan kebenaran dalam segala perkara yang tidak mungkin untuk disalahkan atau berpaling darinya.

Dan di antara fenomena yang menyakitkan hati seseorang yang diterangi oleh Allah Ta’ala pandangannya dengan cahaya ilmu, dan mengisi hatinya dengan cinta dan kasih sayang kepada keluarga NabiNya (ahlul bait), khususya jika dia termasuk Ahlul Bait, dari keturunan beliau yang mulia : Adalah terlibatnya sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul Bait/Habaib) dalam berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan mereka terhadap syi’ar-syi’ar yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dan di antara syi’ar-syi’ar yang diagungkan yang tidak berdasarkan petunjuk moyang kami Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah bid’ah peringatan Maulid Nabi dengan dalih cinta. Dan ini merupakan sebuah penyimpangan terhadap prinsip yang agung ini (*yaitu sempurnanya syari’at dan petunjuk Nabi), dan tidak sesuai dengan Maqasidu asy-Syari’at yang suci yang telah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.

Karena kecintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan ittiba’ (mengikuti) beliau Shallalllahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Dan tidak ada pertentangan antara mencintai beliau dengan mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ittiba’ (mengikuti) beliau merupakan landasan kecintaan kepadanya. Dan orang-orang yang mengikuti beliau secara benar (Ahlul ittiba’) adalah mereka yang meneladani sunnahnya, menapak tilas petunjuknya, membaca sirah (perjalanan hidup)nya, mengharumi majelis-majelis mereka dengan pujian-pujian terhadapnya tanpa membatasi pada hari tertentu, dan tanpa sikap berlebihan dalam menyifatinya serta menentukan tata cara yang tidak berdasar dalam syari’at Islam.

Dan di antara yang membuat perayaan tersebut sangat jauh dari petunjuk Nabi adalah sikap berlebih-lebihan (pengkultusan) kepada beliau dengan perkara-perkara yang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak mengizinkannya dan tidak meridho dengan hal itu. Sebagian sikap berlebih-lebihan tersebut dibangun di atas Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah valid dari Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pengingkaran terhadap sikap-sikap yang berlebihan seperti ini, dengan sabdanya:

Janganlah kalian berlebih-lebihan kepadaku seperti orang-orang nasrani yang berlebih-lebihan terhadap putra maryam. (HR. al-Bukhari)

Maka bagaimana dengan faktanya, sebagian majelis dan puji-pujian dipenuhi dengan lafazh-lafazh bid’ah, dan istighatsah-istighatsah syirik.

Dan perayaan Maulid Nabi merupakan amalan/perbuatan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum ajma’in—begitu pula tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para tabi’in dan para pengikut tabi’in, dan tidak pula Imam Madzhab yang empat, serta tidak seorangpun dari kaum muslimin pada periode-periode pertama yang dimuliakan.

Jika ini tidak dikatakan bid’ah, lalu apa bid’ah itu sebenarnya? Dan Bagaimana pula apabila mereka bersenandung dengan memainkan rebana?, dan terkadang dilakukan di dalam masjid-masjid? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan -tentang acara seperti ini dan yang semisalnya-  suatu perkataan sebagai pemutus yang tidak ada pengecualian di dalamnya: “Semua bid’ah itu sesat”. (HR. Muslim).

Wahai Tuan-tuan Yang terhormat! Wahai sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemulian Asal usul dan nasab merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya, dengan menjaga agama, menyebarkan dakwah yang dibawanya.

Dan sikap seseorang yang mengikuti apa yang tidak dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkan kebenaran sedikitpun, dan merupakan amalan yang ditolak oleh Allah Ta’ala, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Waspadalah dan bertakwalah kalian kepada Allah, wahai para Ahlu bait Nabi!, Jangan kalian diperdayakan oleh kesalahan orang yang melakukan kesalahan, dan kesesatan orang yang sesat, sehingga kalian menjadi para pemimpin di luar garis petunjuk! Demi Allah, tidak seorangpun di muka bumi ini lebih kami inginkan untuk mendapatkan hidayah daripada kalian, karena kedekatan kekerabatan kalian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ini merupakan seruan dari hati-hati yang mencintai dan menginginkan kebaikan bagi kalian, dan menyeru kalian untuk selalu mengikuti sunnah leluhur kalian (*Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan meninggalkan bid’ah maulid ini dan seluruh amalan yang tidak diketahui oleh seseorang dengan yakin bahwa itu merupakan sunnah dan agama yang dibawanya, maka bersegeralah dan bersegeralah, Karena : Barang siapa yang lambat dalam amalnya, niscaya nasabnya tidak akan mempercepat amalnya tersebut. (HR. Muslim).

Yang menanda tangani risalah di atas yaitu:

1. Habib Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar (Ketua Yayasan Sosial Adhdhamir al-Khairiyah di Tariim)

2. Habib Syaikh Aiman bin Salim al-‘Aththos (Guru Ilmu Syari’ah di SMP dan Khatib di Abu ‘Uraisy)

3. Habib Syaikh Hasan bin Ali al-Bar (Dosen Kebudayaan Islam Fakultas Teknologi di Damam dan Imam serta khatib di Zhahran.

4. Habib Syaikh Husain bin Alawi al-Habsyi (Bendahara Umum ‘Muntada al-Ghail ats-Tsaqafi al-Ijtima’I di Ghail Bawazir)

5. Habib Syaikh Shalih bin Bukhait Maula ad-Duwailah (Pembimbing al-Maktab at-Ta’awuni Li ad-Da’wah wal Irsyad wa Taujih al-Jaliyat, dan Imam serta Khatib di Kharj).

6. Habib Syaikh Abdullah bin Faishal al-Ahdal (Ketua Yayasan ar-Rahmah al-Khairiyah, dan Imam serta Khatib Jami’ ar-Rahmah di Syahr).

7. Habib Syaikh DR. ‘Ishom bin Hasyim al-Jufri (Ustadz Musaa’id Fakultas Syari’ah Jurusan Ekonomi Islam di Universitas Ummu al-Qurra’, Imam dan Khotib di Mekkah).

8. Habib Syaikh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Segaf (Pembina Umum Mauqi’ ad-Durar )

9. Habib Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi (Pembina Umum Mauqi’ ash-Shufiyah, Imam dan Khotib di Damam).

10. Habib Syaikh Muhammad bin Muhsi al-Baiti (Ketua Yayasan al-Fajri al-Khoiriyah, Imam dan Khotib Jami’ ar-Rahman di al-Mukala).

11. Habib Syaikh Muhammad Sami bin Abdullah Syihab (Dosen di LIPIA Jakarta)

12. Habib Syaikh DR. Hasyim bin ‘Ali al-Ahdal (Prof di Universitas Ummul Qurra’ di Mekkah al-Mukarramah Pondok Ta’limu al-Lughah al-‘Arabiyah Li Ghairi an-Nathiqin Biha)

Sumber: (http://www.islammemo.cc/akhbar/arab/2009/03/08/78397.html), atau di (http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=1002), atau di (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=164925), atau di

Sepak Terjang Para Habib Memberantas Syirik dan Bid’ah

Untuk lebih mengenal sepak terjang para Habib wahabi yang getol membela sunnah leluhur mereka dan memerangi bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh leluhur mereka, maka kami sangat berharap kepada para pembaca sekalian untuk mengunjungi website-website berikut ini:

Pertama : www.dorar.net , sebuah website yang dimiliki dan dikelola oleh Habib ‘Alawi bin ‘Abdil Qoodir As-Saqqoof. Dalam web ini para pembaca bisa melihat sepak terjang beliau dalam berdakwah di atas manhaj salaf dan memberantas bid’ah.

Bahkan dalam website beliau ada penjelasan tentang bahwa nasab As-Syaikh Abdul Qoodir Al-Jailaani dan juga As-Syaikh Ahmad Ar-Rifaa’i bukanlah termasuk Ahlul Bait. Karena dalam rangka melariskan pemahaman yang sesat maka kaum sufi menisbahkan kedua Syaikh ini kepada Ahlul Bait. (silahkan lihat : http://www.dorar.net/enc/firq/2400)

Kedua : http://www.alsoufia.com, website ini dimiliki dan dikelola Habib Muhammad bin Abdillah Al-Maqdiy. Dalam web ini sangat nampak bagaimana usaha Habib Muhammad Al-Maqdy untuk membantah bid’ah sufi.

Ketiga : alalbayt.com, dalam web ini juga para pembaca yang budiman bisa melihat betapa banyak Ahlul Bait yang berjuang membela sunnah leluhur mereka dan memberantas ajaran baru (bid’ah) yang tidak pernah dilakukan oleh leluhur mereka. Bahkan para pembaca akan dapati bagaimana Ahlul Bait wahabi membantah Ahlul Bait Sufi dan Ahlul Bait Syi’ah

Demikian juga kami sangat berharap para pembaca untuk menelaah kitab-kitab berikut yang ditulis oleh para habib wahabi untuk membantah para habib sufi.

Pertama : kitab  نسيم حاجر في تأكيد قولي عن مذهب المهاجر, karya Mufti Hadromaut Habib Al-‘Allaamah Abdurrohman bin Abdillah As-Saqqoof (wafat tahun 1375 H), yang kitab ini sungguh menggoncang para sufi di kita Hadromaut di Yaman. Silahkan mendownloadnya di (http://www.soufia-h.com/soufia-h/book/naseem-hajer.rar). Adapun resensi buku ini bisa dilihat di (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=171629)

Kedua : Kitab  التصوف بين التمكين والمواجهة, karya Habib Muhammad bin Abdillah Al-Maqdi. Silahkan mendownload kitab tersebut di (http://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_books/single3/ar_altasouf_bain_altamkeen.pdf),

Ketiga : Kitab   إلى أين أيها الحبيب الجفري؟, ini adalah kitab karya Habib Doktor Kholduun Makkiy Al-Hasaniy yang disusun untuk membantah Habib Ali Al-Jufri. Kitab ini sangat penting dan memiliki keterkaitan dengan Habib Munzir. Karena Habib Ali Al-Jufri dan Habib Munzir sama-sama berguru kepada guru yang sama yaitu Habib Umar bin Hafiizh, yang Habib Umar bin Hafiiz inilah yang pernah dihadirkan oleh Habib Munzir di Jakarta dan digelari sebagai Al-Musnid.

Habib Umar bin Hafiz inilah yang memberi kata pengantar bagi kitab Muridnya Habib Al-Jufri yang berjudul معالم السلوك للمرأة المسلمة yang telah dibantah oleh Habib Doktor Kholduun Makky Al-Hasaniy.

Habib Doktor Kholduun Makky Al-Hasaniy berkata di pengantar kitabnya tersebut :

“Dan gurunya Habib Umar bin Hafiizh telah memberikan kata pengantar terhadap buku ini, ia telah memuji kitab dan penulisnya (Habib Ali Al-Jufri) dengan pujian yang sangat tinggi. Bahkan sang guru telah menyifati buku tersebut dengan menyatakan bahwa buku tersebut adalah nafas-nafas (tulisan-tulisan) yang penuh keberkahan dan peringatan-peringatan yang mulia… telah dialirkan oleh Allah pada lisan Habib Al-Jufriy. Dan sang guru telah memuji Allah atas dimudahkannya dicetaknya kitab ini.

Jadi kitab ini adalah karya As-Syaikh Habib Al-Jufry dan telah diberkahi dan diberi pengantar oleh gurunya Habib Umar bin Hafiizh. Dengan demikian maka Habib Al-Jufry bertanggung jawab atas perkara-perkara yang ia tuliskan dalam buku ini” (lihat kitab Ila aina Ayyuhal Habiib Al-Jufriy hal 17).

Silahkan mendownload kitab ini di (http://www.4shared.com/document/bw_ToTWs/____.html)

Habib Al-Jufri ini memiliki kesalahan-kesalahan fatal dalam masalah aqidah, bukan di sini perinciannya. Akan tetapi sekedar untuk wawasan maka silahkan lihat (http://www.youtube.com/watch?v=wPSbtto9wmM&feature=related).

Dan lihat cara ibadahnya (http://www.youtube.com/watch?v=EhO2OfBFZns&feature=related)

Dan Al-Jufriy ini juga suka mencela para ulama wahabi dan merendahkan mereka, sama seperti teman sejawatnya Habib Munzir. Silahkan lihat (http://www.youtube.com/watch?v=WBLWOOCJRrg).

Penutup : Mendoakan para habib :

Harapan besar senantiasa kita gantungkan kepada Allah agar para habib syi’ah atau sufi mau menerima nasehat yang disampaikan oleh para habib Wahabi. Sungguh betapa bahagia tatkala kita mendapati para habib mendakwahkan warisan leluhur mereka yaitu sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan peribadatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh leluhur mereka…

Dengan nama-nama Allah yang Husna dan sifat-sifat-Nya yang ‘Ulya, semoga Allah mewafatkan kita dan seluruh kaum Muslim di dalam agama Islam yang di bawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada kita dan kaum muslim serta  terkhusus kepada para Habib sehingga menjadi panutan yang menuntun umat kepada jalan Allah yang lurus dan bukan menuntun kepada jalan kesesatan dan kekafiran. Allahumma aamiin…

Sungguh indah untaian do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau membuka sholat malam beliau

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Yaa Allah, Robny malaikat Jibri’, Mikail, dan Isroofiil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha mengetahui yang gaib maupun yang nampak…sesungguhnya Engkau yang menjadi Hakim diantara hamba-hambaMu pada perkara yang mereka perselisihkan…berilah aku petunjuk dengan idzinMu kepada kebenaran dari apa yang diperselisihkan…Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk bagi siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 27-12-1432 H / 23 November2011 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

http://www.firanda.com